Penulis
Intisari-Online.com – Praktik perbudakan wanita untuk menyediakan seks bagi pasukannya dalam Perang Dunia II adalah sedikit sekuel yangkita ketahui.
Pasalnya, sistem wanita penghibur bukan lagi sebuah hal rahasia dalam militer Jepang kala itu.
Orang Amerika paham betul dengan hal itu, terbukti dari perlakukan Jepang terhadap wanita-wanita di seluruh negara Asia bekas jajahannya selama perang.
Di bawah tekanan kuat, pemerintah Jepang meminta maaf pada tahun 1993 dalam perannya menjalankan pelacuran di sekitar Asia.
Pengadilan Korea Selatan menjatuhkan putusan yang mewajibkan pemerintah Jepang untuk membayar kompensasi kepada wanita Korea yang menjadi "wanita penghibur" selama Perang Dunia II masing-masing 100 juta won ($ 91.000) pada hari Jumat, (8/1/2021)
Putusan oleh Pengadilan Distrik Pusat Seoul tersebut pertama kali diajukan oleh 12 penggugat wanita, beberapa di antaranya sekarang sudah meninggal dunia dilansir dari Nikkei Asia, Jumat (8/1/2021)
Mereka menuntut kompensasi 100 juta won atau sekitar 1,2 miliar rupiah.
Keputusan itu akan menghadirkan masalah diplomatik baru dan lebih serius antara Jepang dan Korea Selatan.
Diketahui, hubungan kedua negara sangat tegang dalam beberapa tahun terakhir karena masalah yang berasal dari pemerintahan kolonial Jepang.
Termasuk soal tuntutan hukum yang diajukan oleh orang Korea yang bekerja sebagai buruh untuk perusahaan Jepang.
Putusan akan dieksekusi apakah pemerintah Jepang mengajukan banding atau tidak, yang berarti Tokyo sekarang menghadapi prospek asetnya yang berpotensi disita oleh Korea Selatan.
Hal ini suatu perkembangan yang akan memiliki konsekuensi yang jauh lebih parah daripada kasus yang sedang berlangsung atas mantan pekerja masa perang yang melibatkan Korporasi Jepang dan asetnya di Korea Selatan, dan salah satu yang dapat meningkat menjadi sengketa negara.
Perwakilan pemerintah Jepang tidak hadir selama pembahasan pengadilan.
Tokyo menyatakan bahwa menurut hukum internasional, pemerintah yang berdaulat tidak dapat dituntut tanpa persetujuannya.
Pengadilan Korea Selatan memutuskan, bagaimanapun, bahwa kasus tersebut adalah salah satu hak asasi manusia dan bahwa prinsip kekebalan kedaulatan tidak berlaku.
Jepang berargumen bahwa masalah wanita penghibur diselesaikan ketika kedua negara menyelesaikan kesepakatan penyelesaian semua klaim sebagai bagian dari perjanjian normalisasi hubungan diplomatik pada tahun 1965, dan juga melalui kesepakatan bilateral tentang masalah wanita penghibur pada tahun 2015.
Pengadilan memutuskan bahwa hak wanita penghibur untuk mencari kompensasi berada di luar cakupan perjanjian ini dan belum batal.
Jepang menghadapi putusan lain di Korea Selatan Rabu depan dalam gugatan yang diajukan oleh mantan wanita penghibur Lee Yong-soo dan kelompok pendukung untuk wanita penghibur, Dewan Keadilan dan Peringatan Korea.
Keputusan itu datang saat Tokyo menunjuk Koichi Aiboshi sebagai duta besar baru untuk Seoul pada hari Jumat. (Larasati Dyah Utami)
Baca Juga: Kisah Pilu Mantan Seorang Jugun Ianfu Setelah 50 Tahun: Oh Tuhan, Jangan Biarkan Mereka Membawaku!
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di https://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari