Intisari-Online.com - Pendudukan Jepang di Indonesia pada 1942-1945 pada PD II meskipun terbilang singkat ternyata berakibat pada eksploitasi sumber daya alam dan tenaga kerja manusia yang demikian parah.
Eksploitasi Jepang terhadap rakyat dan kekayaan alam Indonesia antara lain diwujudkan dalam pengerahan tenaga manusia demi kepentingan “perang suci”, yaitu apa yang dikenal dengan sebutan romusha.
Mereka dikerahkan untuk membantu balatentara Jepang dalam status tidak dipersenjatai, dan praktis hanya sebagai kulinya tentara Jepang.
Tugas para romusha tidak terbatas hanya di Indonesia, namun mereka dikirim juga ke negara lain seperti Thailand, Filipina, Birma, Singapura, Malaya, Kamboja, bahkan sampai kepulauan Pasifik.
(Baca juga: Kisah Raja Mataram yang Gemar Menghukum Musuhnya dengan Tangan Sendiri)
Mereka harus membangun jalan, rel kereta api, lapangan terbang, gua atau kubu pertahanan, membuka pertambangan dan lain-lain.
Semua itu dilakukan di bawah tekanan dan paksaan. Bahkan ada pula yang masih tergolong anak usia 12-18 tahunan dijadikan tenaga romusha oleh militer Jepang.
Jika pada awalnya romusha diperoleh dari para relawan yang termakan propaganda Jepang yang manis dan menjanjikan , maka selanjutnya mulailah pemaksaan untuk menjadi pekerja paksa tersebut.
Orang diambil begitu saja dan dijadikan romusha. Jika dikirim ke luar daerahnya, maka tipis harapan untuk kembali dalam keadaaan hidup.
Perlakuan buruk harus mereka terima tanpa mampu memberontak, sehingga kematian di kalangan kaum pekerja paksa ini pun tinggi sekali, mencapai 80 %.
Entah berapa ratus ribu orang Indonesia terutama dari Jawa, yang mati dan hilang sebagai akibat sistem kerja paksa ala Jepang ini.
Kaum wanita pun tak kurang menderitanya. Oleh tentara pendudukan Jepang, para wanita ini dipaksa menjadi “budak seks”.
Berbagai kisah memilukan dari sistem Jugun Ianfu atau wanita penghibur tentara telah banyak dibeberkan dalam berbagai buku, forum, maupun oleh media.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR