Advertorial

Kesuksesan Terbesar VOC: Mengadu Domba Para Raja Lokal yang Sedang Gemar Meluaskan Kekuasaan

Ade Sulaeman

Editor

Kalau ada pemilihan kongsi dagang paling  kontroversial sepanjang sejarah, barangkali VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) pemenangnya.
Kalau ada pemilihan kongsi dagang paling kontroversial sepanjang sejarah, barangkali VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) pemenangnya.

Intisari-Online.com – Kalau ada pemilihan kongsi dagang paling kontroversial sepanjang sejarah, barangkali VOC (Vereenigde Oost Indische Compagnie) pemenangnya.

la satu-satunya perusahaan swasta yang sejak lahir sudah dibekali hak-hak politik menemukan dan memelihara tanah jajahan.

Maka ketika Kerajaan Belanda hendak merayakan 400 Tahun VOC tahun 2002, puji dan caci datang silih berganti.

Apa relevansinya buat Indonesia?

(Baca juga: Inilah Sisi Gelap Seseorang Berdasarkan Zodiaknya, Jangan Takut dan Malu Mengakuinya)

Barangkali ada yang menganggap itu pertanyaan konyol. Sudah pasti, negara-negara yang rakyatnya pernah disengsarakan kongsi londo itu, merayakan kiprah VOC bak membuka bebat luka yang belum 100% kering.

Apalagi di Indonesia, VOC meraja hampir selama dua abad (30 Mei 1619 - 31 Desember 1799). Dengan prestasi: sukses mengadu domba para raja lokal yang sedang gemar meluaskan kekuasaan.

Lima puluh tahun menjelang bangkrut, VOC bahkan tak lagi punya sparring berkelahi tangguh dari para pemimpin lokal. la kian leluasa menguras kekayaan alam, memonopoli perdagangan, dan membelenggu kebebasan ribuan budak pribumi.

Ironisnya, di akhir hayatnya organisasi ini meninggalkan utang 137 juta gulden, konon lebih dari 20 kali modal awalnya.

Lantas, mana jutaan (bahkan mungkin miliaran) gulden lain dari kekayaan alam negeri ini? Belum lagi budak dan orang tak berdaya yang mereka perangi.

Sebagai ahli waris Wawasan Nusantara, kita berhak memaki VOC dan antek-anteknya. Tapi cukupkah itu? Mona Lohanda, sejarawan peneliti di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) menyebut, takkan kembali masa lalu dikejar.

Makanya, selain mencak-mencak (perlu demi keseimbangan lahir-batin), kajian kritis tetap harus dilakukan.

Kalau tidak, bom waktu berupa warisan budaya sosial politik VOC, tanpa kita sadari sebenamya masih membelenggu hingga kini. Sebagian sudah terkikis modernisasi dan reformasi. Tapi sebagian lagi, menunggu saatnya meledak.

(Baca juga: Waspada! 6 Tanda Ini Bisa Menunjukkan Anak Anda Akan Menjadi Psikopat Saat Dewasa Nanti)

Pesta sepanjang tahun

Niat Pemerintah Belanda merayakan the glorious time VOC sama kontroversialnya dengan nasib VOC.

Menurut mereka, VOC adalah kenyataan sejarah yang membanggakan, karena telah memberi nilai tambah buat rakyatnya, membawa kemakmuran dan kekayaan budaya buat Belanda, serta membuka cakrawala baru dengan menaklukkan kawasan-kawasan dunia baru.

Bahkan VOC berhasil mendorong perkembangan kemasyarakatan dan memperkaya pengetahuan Belanda tentang bangsa-bangsa lain.

Dengan benak penuh puja-puji, Kementerian Pendidikan Belanda pun memprakarsai "Peringatan dan Perayaan 400 Tahun VOC" secara nasional.

Pelaksanaannya melibatkan pihak swasta di seluruh negeri. Maunya, agar generasi muda Negeri Bunga Tulip ini mengetahui makna dan wujud VOC sebagai bagian dari karya nyata dan kejayaan Belanda masa silam.

"Pesta" siap digelar di enam kota dan dipusatkan di Ridderzaal, berupa pameran full informasi tentang VOC akan digelar sepanjang 2002.

Itu keinginan Belanda. Bagaimana dengan kubu Indonesia yang ratusan tahun dijajah? Duta Besar RI di Den Haag, Abdul Irsan, bilang, KBRI tidak ada masalah dengan peringatan dan perayaan itu, karena itu urusan orang Belanda.

"Tapi kalau mereka memaksa Indonesia ikut memperingati, ini baru persoalan. Bagi Indonesia, VOC permulaan dari proses kolonialisme di Nusantara, bukan semata-mata berdagang," ujar Abdul Irsan.

Suara lebih lembut datang dari Mona Lohanda yang mencoba melihat dari sisi lain. Wanita yang bertahun-tahun menekuni arsip VOC ini berpendapat, ada latar belakang mengapa Belanda nekat merayakan empat abad VOC, yang berisiko membangunkan kemarahan banyak orang di Indonesia.

Dulu sebagai negara kecil, Belanda kurang pede mengawasi jajahan yang begitu jauh dan besar. "Kini, di Uni Eropa mereka tetap dianggap sebagai negara kecil. Generasi mudanya butuh simbol untuk menumbuhkan kebanggaan sebagai bangsa," imbuh mahasiswi S-3 pada Universitas Katolik Nijmegen, Belanda, itu.

Tapi, mengapa upaya itu berpijak dari penafsiran sejarah yang berseberangan? Karena sampai kiamat pun, Indonesia dan negara-negara mantan jajahan Belanda lainnya meyakini VOC bukan sekadar kumpulan saudagar.

Dalam diskusi di KBRI Den Haag, sejarawan Dr. Anhar Gonggong menegaskan, VOC simbol dari kehendak Belanda untuk mendapatkan keuntungan ekonomi-perdagangan, sekaligus perluasan wilayah kolonial.

Maka, lanjut Anhar, usaha VOC di Indonesia merupakan tindakan awal dari kekuatan imperialis-kolonialistik. Bisa juga disebut sebagai proses awal penancapan kekuasaan kolonial yang didorong motif ekonomi merkantil.

Motif ini bisa berhasil jika didukung pemerintah Belanda dengan segala bantuan militernya.

Suara tadi - mewakili sebagian besar pendapat di Indonesia - berbeda 180 derajat dengan opini yang hendak dibentuk lewat perayaan 400 tahun VOC.

Kabarnya, hingga kini masih cukup banyak pihak di Belanda yang beranggapan, kolonialisme di Indonesia menyimpan niat suci, seperti men-civilized-kan orang Indonesia yang primitif, memberi kemakmuran, mempersatukan banyak daerah yang kerap berkelahi, serta memberi pendidikan.

Ada pun untuk kasus VOC, mereka cuma percaya satu kata: dagang dan dagang!

Faktanya? Mengutip arsiparis Mona Lohanda, VOC jelas tak sekadar buka kios seperti Babah Akiong. Mereka sekaligus menjadi mesin politik. Kalau pun saat itu peran pemerintah Belanda tampak minim, lebih karena,

"Sebagai negara kecil mereka harus pandai membagi konsentrasi. Saat itu di Eropa, Belanda sedang berperang melawan Spanyol dan Portugis," jelas dosen Fakultas Sastra UI ini. Wah, masuk akal juga!

(Baca juga: Bukan Daging, Inilah Menu Makan Siang Paling Enak dalam Pendidikan Komando Marinir yang Sangat Keras Itu)

(Ditulis oleh Muhammad Sulhi. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Februari 2002)

Artikel Terkait