Intisari-Online.com -Tahukah kita bahwa Jl. Imam Bonjol, Jakarta Pusat, itu dulunya bernama Miyako (zaman Jepang) dan Nassau Boulevard (zaman Belanda)? Jl. R.P. Suroso adalah pengganti Gondangdia yang melegenda, atau Jl. Proklamasi kini, dulunya tempat angon atau pemeliharaan angsa alias Jl. Pegangsaan? Dalam rangka Jakarta 488 tahun, Intisari akan menyajikan artikel lama yang bercerita bagaimana tempat-tempat di Jakarta diberi nama.
“Belanda tak segarang (bangsa) kita dalam hal gonta-ganti nama jalan,” bilang Mona Lohanda, peneliti senior di Arsip Nasional RI. “Mereka hanya mengarang untuk jalan baru. Sebutan lokal seperti Menteng, Salemba, Angke dipertahankan,” imbuhnya. Di Eropa yang kaya tradisi, nama jalan memang haram diganti-ganti, apalagi jika bernilai historis tinggi.
Jakarta tempo doeloe alias Batavia kuno berawal dari Kota pengertian “kota lama”. Meski bukan lagi ungkapan resmi, nama Kota tetap dilestarikan sopir dan kondektur angkutan umum yang mencantumkannya dalam “nama trayek”, semisal jurusan Senen – Kota.
Di bekas hunian awal VOC di Pasar Ikan, ada daerah yang disebut Kota Intan. Lengkap dengan menara, syahbandar, dan jembatan yang menghubungkan bekas benteng Belanda dan Inggris. Apakah itu dulu tempat menambang intan? Bukan. Nama itu ngetop lantaran Belanda suka mengibaratkan keindahan bastion (bagian dari benteng - Red.)-nya dengan batu permata, seperti safir, intan, mirah, rubi, atau mutiara.
Di dekatnya ada masjid tua Luar Batang. Ada versi menyebut, nama itu berkaitan dengan batang pohon yang dipalangkan di muara Sungai Ciliwung saban malam untuk mencegah keluar-masuknya perahu tanpa membayar pajak. Namun, menurut cerita lain, nama itu berasal dari seorang ulama legendaris Jakarta, Sayid Husein bin Abubakar Alaydrus.
Keinginan sang Habib mendirikan masjid di Batavia ditolak VOC. la pun mendirikan bangunan ibadah di sebuah atol di luar Batavia. Lokasinya biasa menjadi tempat tambatan perahu; penduduk setempat mengistilahkannya Luar Batang. Perhitungan sang Kyai tepat, atol itu lambat laun menyatu dengan daratan. Kini masjid buatan tahun 1739 itu masuk wilayah Kelurahan Penjaringan, Jakarta Utara.
Soal tempat hiburan. Sebelum ada Taman Impian Jaya Ancol, tempat rekreasi paling terkenal adalah Sampur, Tanjung Priok. Di hari libur, pengunjungnya membludak. Nama “sampur” diambil dari kata Zandvoort. Belakangan ketahuan, sebutan serupa ada di Negeri Belanda, juga untuk tempat pemandian nan elok.
Dekat Stasiun KA Kota, ada kawasan pusat perdagangan Mangga Dua. Siapa sangka, sejak abad ke-18, wilayah itu sudah menjadi pusat hiburan bagi kaum berkocek tebal. Termasuk layanan prostitusi, dengan wanita penghibur bahenol asal Macao yang biasa disebut Macao Po. Mangga Dua sendiri mulanya tak bernama. Penduduk sekitar menamainya Mangga Dua, karena di sana tumbuh sepasang pohon mangga. “Dulu belum dikenal istilah ‘sepasang’ atau ‘dua mangga’,” terang Ridwan Saidi, budayawan dan pemerhati masalah Betawi.
Trade mark Kota sekarang, Glodok, konon sudah didiami pemukim Cina jauh sebelum , J.P. Coen datang sekitar awal abad ke-17. Setelah pemberontakan besar orang Cina (tahun 1740, korbannya 10.000-an orang), Glodok resmi menjadi pecinan. Pascapemberontakan, orang Cina dianggap mbalelo, tak lagi boleh tinggal dalam tembok Batavia. Jadi, Glodok sebenarnya areal pengungsian.
Ada yang bilang, kata Glodok berhubungan dengan rerumputan bemama krokot yang banyak tumbuh di kawasan itu. Namun, Ridwan Saidi, penggarang Betawi dan Modernisasi Jakarta, punya pendapat lebih masuk akal. Katanya, krokot lebih mungkin memunculkan nama Krekot (Pasar Baru) dan Krukut (permukiman Arab). Sedangkan Glodok, sering juga disebut “Pancoran”, dulunya tempat menjernihkan air. Proses mengambil air dari pancuran namanya grodjok. “Sesuai lidahnya, orang Cina melafalkannya jadi Glodok,” Kata Ridwan.
Perlawanan pemukim Cina berdampak juga di tempat lain. Di Jatinegara ada kampung bernama Rawa Bangke, konon bekas tempat pembuangan mayat para pemberontak. Pemberontak yang lolos, sebagian kabur ke Tangerang – melahirkan “Cina Benteng” dan sebuah perkampungan baru, Mauk (dari nama pemimpinnya, Ma Uk).
Masih di sekitar Kota, ada nama kampung berlatar belakang kisah tragis seorang indo Jerman – Thailand, Reter Erberveldt. Tahun 1722, VOC menangkap Pieter yang dianggap membahayakan pemerintah Belanda di Batavia. Walau tuduhan pemberontakan tak terbukti, Pieter tetap dihukum mati. Kaki dan tangannya masing-masing diikatkan pada empat kuda, yang berlari ke empat arah berbeda. Bisa dibayangkan akibatnya. Tempat luluhlantaknya raga Erbervelt itu dikenal sebagai kampung Pecan Kulit (sekarang sekitar Jl. P. Jayakarta).
Artikel ini pernah dimuat di Intisari edisi Juni 2002 dengan judul “Betawi Tercecer di Jalan”.