Intisari-online.com -Sabtu kemarin, TNI Angkatan Darat dan TNI Angkatan Laut mulai mengirimkan pasukan untuk mencari pesawat Sriwijaya Air SJ182.
Pesawat Sriwijaya Air dengan nomor penerbangan SJ182 rute Jakarta-Pontianak tersebut hilang kontak 4 menit setelah lepas landas.
Kini di pencarian hari kedua, personel TNI AU dan AL menemukan sejumlah barang bukti yang menguatkan dugaan berhubungan dengan jatuhnya Sriwijaya Air.
Ada 56 penumpang di dalam pesawat ini, dengan total 46 orang dewasa, 7 anak-anak dan 3 bayi.
Sejumlah barang bukti tersebut antara lain tumpahan minyak di sekitar selatan Pulau Laki.
Kemudian bukti kedua adalah pesawat hancur, berupa serpihan yang berasal dari pesawat Sriwijaya Air.
Selanjutnya Detasemen Jalamangkara (Denjaka) TNI AL juga temukan serpihan tubuh pesawat, mesin dan hidrolik kabin penumpang antara Pulau Laki dan Pulau Lancang.
Salah satu serpihan yang ditemukan juga berupa plat besi berukuran panjang sekitar 3 meter, ditemukan tim penyelam di kedalaman 16 meter.
Maskapai penerbangan Sriwijaya Air menggunakan pesawat Boeing 737-500 untuk penerbangan Jakarta-Pontianak tersebut.
Kecelakaan ini menjadi kecelakaan terbaru untuk jenis pesawat Boeing 737, pesawat buatan perusahaan aviasi Boeing Co.
Dunia tentu tidak lupa akan kecelakaan naas yang dialami pesawat Boeing tahun 2018-2019 lalu.
Sejarah mencatat, pesawat Boeing 737 Max 8 pernah alami kecelakaan dua kali berturut-turut dalam 2018-2019.
Boeing harus membayar mahal untuk kecelakaan naas tersebut.
Setelah dua kecelakaan tersebut, Boeing Max tidak segera mendapat izin terbang.
Boeing harus menelan kenyataan pahit jika Boeing Max harus alami grounding sampai mereka dapat izin terbang lagi.
Namun tidak hanya permasalahan izin terbang, Boeing juga harus mengganti rugi kecelakaan pesawat itu.
Dikutip dari Al Jazeera, Boeing Co akan membayar sebesar Rp 35 Triliun untuk dua kecelakaan maut tersebut.
Uang tersebut untuk menyelesaikan penyelidikan Departemen Kehakiman AS (DOJ) atas dua kecelakaan mematikan 737 Max yang total menewaskan 346 orang.
Namun, Boeing tidak akan dipaksa untuk mengaku bersalah atas tuntutan kriminal.
DOJ mengatakan penyelesaian itu termasuk denda pidana sebesar Rp 3,5 Triliun, kompensasi kepada pelanggan maskapai Boeing 737 Max sebesar Rp 25 Triliun, dan pembentukan dana penerima korban kecelakaan senilai Rp 7 Triliun sebagai kompensasi kepada ahli waris, kerabat dan penerima manfaat hukum dari para penumpang yang telah tewas.
Dua kecelakaan maut itu terjadi di Ethiopia dan Indonesia, yaitu pada 2018 di Indonesia dan 2019 di Ethiopia.
Pada kedua kecelakaan itu sistem 737 Max mendorong hidung ke bawah berulang kali berdasarkan pembacaan sensor yang salah, dan pilot tidak dapat memperoleh kendali kembali.
Max dilarang terbang di seluruh dunia mulai Maret 2019, beberapa hari setelah kecelakaan kedua.
Laporan oleh komite dari DPR dan Senat AS menyalahkan Boeing dan Adminstrasi Aviasi Federal AS (FAA) atas kegagalan dalam proses memberi izin kelaikan pesawat.
Boeing dituntut dengan satu dakwaan konspirasi untuk menipu AS.
Pabrik pesawat terbesar AS tersebut menghadapi perjanjian penuntutan tiga tahun yang ditangguhkan, dan tuduhan akan dicabut jika perusahaan mematuhi perjanjian tersebut.
"Kecelakaan tragis Lion Air Penerbangan 610 dan Ethiopian Airlines Penerbangan 302 mengungkap perilaku curang dan menipu oleh karyawan salah satu produsen pesawat komersial terkemuka dunia," kata Penjabat Asisten Jaksa Agung David P. Burns.
"Karyawan Boeing memilih jalur keuntungan daripada keterusterangan dengan menyembunyikan informasi material dari FAA mengenai pengoperasian pesawat 737 Max dan terlibat dalam upaya untuk menutupi penipuan mereka."
Boeing mengakui dalam dokumen pengadilan jika 2 dari 737 Max Flight Technical Pilot menipu FAA mengenai sistem keamanan utama terkait dua kecelakaan fatal tersebut.
Sistem tersebut dinamakan MCAS (Maneuvering Characteristics Augmentation System) atau sistem karakteristik manuver augmentasi yang menjadi pusat investigasi kecelakaan Boeing Max.
Mengutip Aviation Week, DOJ pada 7 Januari lalu mengatakan "karena penipuan mereka, dokumen penting yang dipublikasikan oleh FAA AEG (Aircraft Evaluation Group) tidak mengandung informasi mengenai MCAS dan akhirnya, pesawat manual dan bahan pelatihan pilot untuk pesawat di AS tidak memiliki informasi mengenai MCAS."
Segera setelah kecelakaan awal, FAA AEG "baru tahu pertama kalinya mengenai perubahan MCAS, termasuk informasi mengenai MCAS yang disembunyikan Boeing dari FAA AEG" ujar DOJ.
Sementara itu saat investigasi jatuhnya pesawat Boeing Max Lion Air dilanjutkan, dua pilot teknis 737 Max terus-terusan menutupi beberapa fakta mengenai perubahan MCAS terhadap Boeing dan FAA.
Kepala Eksekutif Boeing David Calhoun mengatakan dalam pernyataan jika kesepakatan itu "dengan tepat menjelaskan kegagalan kami mengimplementasikan nilai-nilai luhur dan harapan kami."
Dana yang dibayarkan Boeing juga termasuk pembayaran awal yang sudah dibuat oleh Boeing kepada maskapai.
November lalu, FAA menyetujui perubahan yang dibuat Boeing kepada sistem kontrol otomatis, yang dilakukan karena adanya kecelakaan tersebut.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini