Penyakit Kuno nan Mematikan Mengancam Manusia Seiring Mencairnya Es Everest yang Memicu Munculnya Jasad-jasad Pendaki ke Permukaan

Ade S

Editor

Jasad-jasad pendaki everest
Jasad-jasad pendaki everest

Intisari-Online.com -Keberadaan jasad-jasad di Gunung Everest ternyata tidak hanya membawa kisah memilukan, tapi juga menyimpan bahaya bagi umat manusia.

Ancaman ini menyeruak seiring semakin besarnya dampak pemanasan global di Gunung Everest.

Bagaimana itu bisa terjadi? Simak uraiannya berikut ini.

Salah satu hal unik sekaligus mengerikan dari Gunung Everest adalah keberadaan jasad-jasad pendaki yang meninggal.

Baca Juga: Jadi Korban dalam Sejarah Paling Mematikan di Gunung Everest, Inilah Kisah Tragis 'Green Boots', Jasad yang Dijadikan Penanda oleh Para Pendaki Lainnya Karena Hal Ini

Ya, selama bertahun-tahun, bahkan sampai beberapa dekade, jasad-jasad tersebut terbaring di jalur-jalur pendakian gunung tertinggi.

Kebanyakan dari jasad-jasad tersebut tertutup oleh salju. Tak terlihat.

Karena kebanyakan jasad para pendaki tersebut dalam keadaan utuh saat ditemukan kembali, maka mereka pun disebut sebagai 'jasad-jasad abadi'.

Namun, belakangan seiring dengan laju mencairnya laposan es dan gletser di Gunung Everest yang semakin cepat, jasad para pendaki tersebut mulai terlihat.

Baca Juga: Memilukan Sekaligus Mengerikan, Beginilah Potret Jasad-jasad 'Abadi' para Pendaki Gunung Everest yang Tewas dalam Pendakian

Pencairan gletser yang disebabkan oleh pemanasan global tersebut menguak sisa-sisa apapun yang terkubur di bawah es, termasuk jenazah-jenazah para pendaki yang meninggal.

Operator ekspedisi Himalaya menuturkan setidaknya ratusan orang telah tewas sejak tahun 1990-an saat mereka mencoba mendaki gunung tersebut. Sebagian besar mayat diyakini masih terkubur di bawah salju.

Sekarang, berkat gletser yang mencair karena perubahan iklim, semua yang terkubur di bawah es mulai muncul ke permukaan.

Baca Juga: Kenapa Ratusan Pendaki Tewas di Zona Kematian Menuju Puncak Everest yang Tingginya Capai 8.000 Meter Itu?

"Karena pemanasan global, lapisan es dan gletser mencair dengan cepat," kata Ang Tshering Sherpa, mantan presiden Asosiasi Pendaki Gunung Nepal.

Masyarakat setempat pun masih berjibaku mengatasi masalah ini. Pasalnya, pemerintah Nepal juga tidak tahu bagaimana cara menanganinya.

Masyarakat akhirnya memilih mengambil tindakan dengan membawa turun sebagian besar jenazah ke kota.

Baca Juga: Kisah Pilu Mayat 'Sleeping Beauty' yang Meninggal di Gunung Everest, Sebelum Mati Dia Menangis Sambil Ucapkan Kalimat Ini

Namun, ini tidak bisa dilakukan untuk semua jenazah. Sebab perlu biaya tak sedikit untuk mengurus mereka, antara 40.000-80.000 dollar AS (sekitar Rp 572 juta-1,145 miliar).

"Kami telah membawa beberapa mayat pendaki yang meninggal dalam beberapa tahun terakhir. Tetapi yang sudah lama terkubur di es sekarang mulai bermunculan," tambah Ang Tshering.

Jenazah yang tertinggal di gunung kemudian ditutupi warga dengan salju dan batu.

Baca Juga: Bisa Menyaingi Taj Mahal, 'Gunung Everest' Sampah India Tumbuh Menjulang Begitu Cepat

Beberapa bahkan berfungsi sebagai penanda bagi para pendaki Gunung Everest karena benda milik para pendaki ada yang diletakkan di dekat lokasi mereka meninggal.

"Pendaki lain sudah siap mental melihat pemandangan seperti itu," tambah Tshering Pandey Bhote, wakil presiden Asosiasi Pemandu Gunung Nasional Nepal.

Selain mayat-mayat itu, cairnya es rupanya juga menyingkap keberadaan penyakit kuno.

Baca Juga: 'I Did', Pesan Terakhir Pendaki Irlandia pada Istrinya Saat Capai Puncak Everest Sebelum Akhirnya Jatuh dan Tubuhnya Tak Ditemukan

Menurut sebuah studi tahun 2015 yang diterbitkan dalam PNAS, sebuah virus berusia 30.000 tahun pernah ditemukan di lapisan es Kutub Utara, hal tersebut meningkatkan kekhawatiran jika kenaikan suhu juga turut menyebabkan meningkatnya penyakit mematikan.

Gletser yang mencair memang merupakan kekhawatiran seluruh dunia. Sejak awal abad 20, gletser di planet ini telah berkurang dengan cepat.

Misalnya saja jumlah gletser di Taman Nasional Gletser, rumah bagi sekitar 150 gletser, kini berkurang menjadi 30 saja. (Monika Novena)

Artikel Terkait