Intisari-Online.com -Pada 7 Desember 2020 lalu, Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Pemerintah (PP) No. 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku kekerasan Seksual Terhadap Anak.
PP tersebut merupakan peraturan turunan dari Pasal 81A ayat 4 dan Pasal 82A ayat 3 Undang-undang No. 17 tahun 2016 tentang Perlindungan Anak.
Dalam Pasal 2 ayat 1 di PP tersebut, pelaku persetubuhan terhadap anak yang telah memiliki kekuatan hukum tetap bisa dikenakan tindakan kebiri kimia, pemasangan alat pendeteksi elektronik, dan rehabilitasi.
Sementara itu Pasal 2 ayat 2 menyatakan pelaku perbuatan cabul terhadap anak yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dapat dikenakan tindakan pemasangan alat pendeteksi elektronok dan rehabilitasi.
Kendati demikian berdasarkan Pasal 4, pelaku persetubuhan atau pencabulan yang masih berstatus anak tak dikenakan tindakan kebiri kimia dan pemasangan alat pendeteksi elektronik.
Teknis pelaksanaan tindakan kebiri kimia diatur dalam Pasal 6.
Pasal tersebut menyatakan tindakan kebiri kimia diawali dengan tahapan penilaian klinis.
Di Indonesia, hukum tersebut sedikit disorot, namun rupanya media Inggris Daily Star menyoroti hal tersebut.
Daily Star, Selasa (5/1/2021), menyoroti pemberlakuan Undang-undang baru yang mengizinkan pelaku kejahatan seks anak untuk dikebiri secara kimiawi.
Kebiri kimia adalah prosedur kontroversial yang melibatkan menyuntik seseorang dengan larutan yang menurunkan kadar testosteron mereka dalam upaya untuk menekan dorongan seksual mereka.
Hakim di Indonesia sekarang akan memiliki opsi untuk ditambahkan ketika menghukum seseorang karena melakukan pelecehan seksual terhadap anak.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Indonesia mengatakan kepada Vice World News bahwa pihak berwenang berharap itu akan menjadi "pencegah" untuk melakukan pelanggaran tersebut.
Amnesty International sejak itu mengeluarkan pernyataan yang meminta peninjauan segera atas undang-undang baru tersebut saat para aktivis hak asasi manusia bersatu menentang hukuman tersebut.
Papang Hidayat, Peneliti Amnesty International untuk Indonesia, mengatakan bahwa melakukan kebiri kimia bagi pelaku pelecehan seksual adalah tindakan kekejaman.
Menolak prosedur tersebut, Hidayat mengatakan hukum tersebut adalah "pelanggaran hukum internasional" dan mengatakan "risiko" melukai orang yang tidak bersalah tidak dapat "tidak pernah dihapus".
Dia berkata: "Pelecehan seksual terhadap anak-anak sangat mengerikan. Tapi melakukan pengebirian atau eksekusi kimiawi kepada pelanggar bukanlah keadilan, itu menambah satu kekejaman ke yang lain.
"Kebiri kimia yang dipaksakan merupakan pelanggaran larangan penyiksaan dan perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat di bawah hukum internasional.
“Perluasan cakupan hukuman mati tidak sejalan dengan kewajiban internasional Indonesia yang melindungi hak untuk hidup.
"Lebih lanjut, mengingat kelemahan serius dalam sistem peradilan Indonesia, risiko mengeksekusi orang yang tidak bersalah tidak pernah bisa dihilangkan."
Komisioner Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan juga menentang aturan baru tersebut, mengklaim bahwa pemerintah tidak akan melihat hasil yang diharapkan.
Siti Aminah Tardi mengatakan: “Pemerintah tidak akan mencapai target dengan kebiri, karena kekerasan seksual terhadap anak terjadi akibat hubungan kekuasaan yang tidak seimbang (antara pelaku dan korban) atau persepsi pelaku terhadap korban.
"Mengontrol hormon seksual pelaku tidak akan mengakhiri kekerasan seksual."