Sampai Libatkan Propaganda Media, Konflik India-Pakistan Sudah Lampaui Urusan Kashmir Saja, Pakar Sebut 'Perang Generasi Kelima', Apa Maksudnya?

Maymunah Nasution

Editor

Wilayah Gilgit-Baltistan yang berada di Kashmir, tempat Pakistan dan India rebutan kekuasaan
Wilayah Gilgit-Baltistan yang berada di Kashmir, tempat Pakistan dan India rebutan kekuasaan

Intisari-online.com -Awal bulan ini, organisasi berkantor di Brussel, EU DisinfoLab telah mempublikasi laporan investigasi berjudul Indian Chronicles.

Investigasi tersebut membeberkan jaringan berbahaya yang menyebarkan misinformasi dan propaganda melawan Pakistan.

Laporan itu mengekspos operasi yang berjalan di 116 negara selama 15 tahun, dengan lebih dari 500 media palsu dan lusinan organisasi nirlaba palsu.

Jaringan ini menyetir narasi pro-India dan anti-Pakistan di Uni Eropa dan PBB.

Baca Juga: Sering Dianggap Kolonialisme Abad Ke-21 Dengan Diplomasi 'Jebakan Utang', Data Ini Tunjukkan Jika Belt and Road Initiative China Malah Memang Membantu Benua Afrika, Bukan Ambisi Menguasai Dunia

Melansir artikel Al Jazeera milik Ahsan I Butt, laporan tersebut tunjukkan juga jika media online Asian News International (ANI) yang berasal dari India, terlibat menutupi dan menyebarkan berita palsu yang dibuat oleh jaringan itu.

Meskipun laporan itu cukup berhati-hati tidak mengikat jaringan dengan negara India, tidak ada keraguan jika keberadaan badan itu bisa berhasil hanya jika pemerintah tahu.

Pembuktian itu memimpin nasionalis Pakistan dan pendukung pencapaian keamanannya dengan gembira mengingatkan lawannya, "kami sudah bilang begitu".

Andai saja para kritikus tidak mendalami hal itu, dan menyadari tingkat ancaman keamanan yang dihadapi negara Pakistan yang terkepung, tentara dan dinas intelijen pastinya diberhentikan.

Baca Juga: Rakyat Pakistan Tak Sudi Lagi Jadi Sumber Keuntungan Tiongkok, Hampir Hancurkan Pelabuhan yang Dikuasai Tiongkok Ini, Mengapa Pakistan Masih Saja Memilih Tiongkok Daripada Rakyatnya Sendiri?

Klaim ini secara berulang mengirimkan satu retorika, yaitu "perang generasi kelima".

Ide dasar di balik makna ini adalah jika di era modern, perang tidak dilakukan oleh tentara atau para gerilyawan, tapi di pikiran oleh para rakyat biasa.

Bentuk perang modern

Persepsi, informasi, propaganda dan berita palsu menjadi alat utama di bentuk perang modern.

Baca Juga: India Makin Was-was, China-Pakistan Makin Mesra, Kekuatan Militer China di Ladakh Makin Perkasa

Dari laporan EU DisinfoLab, Pakistan sedang menghadapi perang holistik tipe baru, satu perang yang menggunakan semuanya dari bom sampai mesin digital (bot).

Satu-satunya masalah dengan logika ini adalah, seperti dikhawatirkan banyak cendekiawan, "perang generasi kelima" bukanlah ide yang sudah diterima umum.

Mencari artikel yang membahas ini di jurnal-jurnal internasional masih terbilang sulit karena istilah "perang generasi kelima" tidak muncul selama 5 tahun terakhir, sebuah masa jurnal-jurnal ini telah mencetak 5 juta kata di antaranya.

Sehingga, konsep serevolusioner itu sampai lepas dari mata para ahli pastinya sangat mencurigakan.

Baca Juga: Ups! Ingin Mendominasi Vietnam dengan Cepat, China Justru Dipukul Kalah pada Perang 1978, Jenderal Tiongkok: Capai Mimpi Perang Modern

Namun hal ini bisa dijelaskan karena ketiadaan perhatian kepada perang generasi kelima adalah karena validitasnya terbatas, dengan istilah itu membawa kerangka lain yaitu "perang hibrida".

Perang hibrida adalah satu perang yang populer di antara komunitas keamanan Transatlantik yang menggambarkan kebijakan luar negeri Rusia dan tuduhan aksi sabotase oleh mata-matanya.

Kedua istilah ini sama-sama menggunakan elemen perang dengan latihan diplomasi.

Semua perang adalah politik, tapi tidak semua politik adalah perang

Baca Juga: Bertugas Hancurkan Stabilitas Eropa, Inilah Unit 29155, Perancang 'Perang Hibrida' yang Sudah Obrak-abrik Banyak Negara, Termasuk Pilpres AS yang Dimenangi Trump

Kenyataannya, istilah dua ini sering digunakan untuk meminjam strategi membumi untuk analisis yang melambung.

Kontras dengan argumen ini, praktik memperkuat diplomasi rupanya telah dilaksanakan di awal abad ke-20, bahkan sejak berakhirnya Perang Dunia II, alat-alat ini menjadi elemen standar untuk taktik menangkis intelijen.

Contohnya adalah Uni Soviet dan AS mensponsori propaganda dan misinformasi melawan satu sama lain selama Perang Dingin.

AS memperluas cakupan propaganda dan operasi psikologi di bawah Presiden Dwight Eisenhower dan menyebut membangun infrastruktur mengagumkan dari sebuah institusi seperti Voice of America dan Radio Free Europe, yang mengabdikan diri untuk tugas tersebut.

Baca Juga: Jangan Pikir AS atau China Pemilik Senjata Nuklir Terbesar di Dunia, Pemegang Senjata Nuklir Paling Besar dan Mustahil Untuk Dikalahkan Saat Ini Ternyata Dimiliki Oleh Negara Ini

Untuk bagian ini, Uni Soviet menikmati fokus pada rasisme untuk propaganda mereka, dengan poster propaganda AS tunjukkan 'kotak kejutan' dalam demokrasi Amerika Serikat.

Lebih jauh lagi, poster AS dibuat Patung Liberty memiliki logo perbudakan, rasisme dan terorisme lokal seperti Ku Klux Klan atau polisi.

Di sini tunjukkan jika perang generasi kelima mengatur bagaimana ancaman bisa terasa jauh lebih besar jika ancamannya dilempar ke warga yang panik.

Saat India memborong jet, rudal atau frigat, Pakistan tidak punya pilihan lain untuk bersiap melawan.

Baca Juga: Makin Semena-mena, Pasukan India Kembali Bunuh 3 Pemuda Kashmir yang Tak Bersalah, Keluarga: Bagaimana Saudara Saya Menjadi Militan dalam Beberapa Jam?

Kontras dengan itu, penggunaan misinformasi, tidak berbahaya, tapi perlu partisipasi Rusia.

Ancaman India sebenarnya

Dalam ancaman keamanan, penting membedakan fakta dan yang lainnya, jika disebutkan ancaman misinformasi tidak ada perang, jangan percaya Islamabad tidak sedang tegang dengan India.

Kebijakan luar negeri agresif India berasal dari pemerintahan Perdana Mneteri Narendra Modi yang condong pada nasionalisme Hindu.

Baca Juga: Di India Muslim Dipersekusi, di Pakistan Kuil Hindu Berumur Lebih dari Seabad Dibakar Massa, Ini Pemicunya

Kini nasionalisme ini sudah disingkirkan, tapi terlepas dari nasionalisme asertif di Kashmir, dukungan New Delhi untuk separatisme Baloch dan terorisme hanya berfungsi meningkatkan ketegangan di Asia Selatan, padahal wilayah itu sudah disfungsi secara geopolitik.

Simbiosis antara pemerintah India dan media mereka tidaklah baru, dan kini media itu sangat bermanfaat untuk diplomasi Pakistan terlebih dalam hubungan internasional mereka.

18 bulan yang lalu, India dan Pakistan temukan diri mereka di tengah krisis berbahaya yang berpotensi menjadi perang nuklir.

Di saat-saat itu, media India "secara besar-besaran menggambarkan pentingnya memperkuat propaganda pemerintah," kemudian mengutip klaim tanpa dasar dan menambah ketegangan.

Baca Juga: Peringatkan Mengerikannya Rudal Korut, Ahli Beri Peringatan: Jika Korea Utara Bisa Membuat Rudal Balistik Siapa pun Bisa

Serupa dengan itu, EU DisinfoLab telah tunjukkan bukti jika media mainstream swasta India adalah lengan pemerintah.

Media telah digunakan untuk menguatkan posisi Pakistan disalahkan dalam degradasi institusi politik nasional India.

Reputasi India sebagai demokrasi sangatlah penting untuk soft powernya, telah hampir hancur di bawah pemerintahan Modi, laporan ini juga tidak membantu banyak.

Kini, hanya tinggal Islamabad yang menentukan semuanya.

Baca Juga: Cara Licik Tentara India Cuci Tangan dari Dosa Pembunuhan 3 Warga Sipil Kashmir, Letakkan Benda Ini pada 3 Mayat Seolah-olah Mereka Teroris Garis Keras

Imran Khan sudah diperingatkan cukup lama sejak ia naik ke panggung pemimpin jika India yang ia hadapi bukan India tempat kakeknya tumbuh, kini sudah jauh lebih berbahaya.

Sayangnya, laporan ini mungkin hanya berakhir di wacana saja, Pakistan juga memiliki rezim hibrida, kekuasaan militer besar-besaran yang terselubung dalam fasad sipil paling tipis, membatasi ruang bagi jurnalis, partai politik, pembangkang, nasionalis Baloch, pemimpin HAM Pashtun dan lainnya.

Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini

Artikel Terkait