Intisari-online.com -Perang Dunia Kedua adalah salah satu catatan sejarah mengerikan yang pernah ada.
Banyak kejadian di Perang Dunia Kedua yang menyisakan kekejian manusia.
Salah satunya adalah yang terjadi di Palawan, Filipina ini.
Diwartakan Warfare History Network, saat itu Prajurit Superior dari Pasukan Imperial Jepang, Tomisaburo Sawa sedang mengisi senjatanya, senapan tipe 99 Arisaka.
Ia dengan berhati-hati mengecek untuk memastikan jika senjata itu sedang diisi.
Dari posisinya di teras barak penjaga penjara, ia menonton anggota dari platonnya menyeberang pekarangan penjara itu.
Saat itu, tahanan perang yang menjadi tanggung jawab Sawa masih tidak mengerti apa yang akan terjadi.
Padahal, banyak yang akan menjadi korban dari pembantaian Palawan.
Seorang tentara dari Pasukan Angkatan Laut AS Glenn "Mac" McDole melihat pasukan Jepang datang dari pintu masuk penampungan serangan udara.
Segera dia tahu, sesuatu yang buruk akan terjadi.
Pasukan Jepang saat itu memakai seragam perang lengkap dengan bayonet.
Ada perintah parau, antrean dihentikan, dan Jepang segera membentuk setengah lingkaran di sekitar parit yang diisi tawanan perang AS.
"Aku melihat 5 tentara Jepang pergi ke panampungan udara dan melempar ember berisi bensin ke pintu masuknya," ujar Tentara Sawa.
"Ini diikuti oleh dua orang yang melempar obor kayu di pintu masuk."
McDole segera melihat kengerian yang terjadi, api segera berkobar dan mengepung tentara Amerika.
Ia melihat satu obor manusia mendaki pagar dan berlari sambil berteriak ke pihak musuh.
Namun tentara Jepang segera menembaknya, tidak sengaja mengakhiri penderitaan pria tersebut.
Namun yang lain tidak begitu beruntung, para penjaga melihat mereka dibakar sampai mati dalam kesakitan yang tidak dapat digambarkan.
McDole berkata, "Ya Tuhan, tentara Jepang berniat membunuh kita semua."
Kamp Kematian untuk Tahanan Perang
Saat pasukan AS menyerah di Filipina tahun 1942, tahanan perang AS segera dibekuk dan ditahan di kamp tahanan perang di dekat Manila.
Penjara itu kotor dan terlalu penuh.
McDole dikirim ke kamp Cabanatuan No 1 yang ia lihat sebagai kamp kematian.
Pasalnya, 10 sampai 15 orang meninggal setiap hari karena malnutrisi, defisiensi vitamin dan infeksi berbagai penyakit menular.
"Aku tidak pernah melihat sebanyak ini meninggal setiap harinya," ingat McDole.
"Sama sekali tidak ada obat atau yang lainnya."
Tambahan lagi, banyak tahanan yang dibunuh oleh penjaga sadis yang brutal untuk berbagai kesalahan yang mengada-ada.
McDole sadar hanya tinggal menunggu waktu untuk sesuatu terjadi kepadanya dan dia mencari cara keluar dari kamp itu.
Akhirnya, ia berhasil keluar setelah ada permintaan dari penjaga 300 orang untuk pergi ke Manila.
McDole melihat ini sebagai harapan untuk tetap hidup, dan mengabaikan slogan tua tentara ("Jangan pernah menjadi relawan") ia pun mengajukan diri.
Pada 12 Agustus 1942, dia dibawa ke Palawan, salah satu pulau terbesar di Filipina yang terletak di perimeter barat Laut Sulu.
Palawan segera menjadi rumah bagi McDale selama dua setengah tahun.
Para tentara bertemu dengan pemimpin komando Batalion Lapangan Udara ke-131, Kapten Nagayoshi Kojima.
Kojima memiliki nama panggilan "Musang" oleh para tahanan perang.
"Kojima berdiri di tumpuannya sehingga ia bisa memandang rendah kami," kenang McDole.
"Dalam suara berdecit, ia akan berkata 'Pasukan Amerika,' lalu berhenti.
"'Hari ini kita membangun jalan', tidak perlu waktu lama kami tahu itu sebuah kebohongan… kita di sana membangun landasan pacu," ujar McDole.
McDole sendiri tidak percaya, karena tidak ada apapun di sekitar kamp itu selain hutan lebat.
Segera kehidupan di kamp itu menjadi mengerikan, makanan menjadi obsesi para tahanan perang, sembari memikirkan apa yang ingin mereka makan setelah bebas, mereka harus bertahan dengan yang ada: kadal, burung, monyet, ular.
McDole ingat pernah memanggang ular, yang ia klaim rasanya seperti ayam."
Banyak sekali tahanan yang sakit dan tidak bisa bekerja, sementara yang lain menderita dari kebrutalan Jepang. "Banyak sekali yang sakit dan babak belur, mereka sampai mengisi satu sayap barak, kami menamainya "teluk sakit".
Nyatanya nama itu hanya akal-akalan saja, karena sebenarnya tidak ada obat dan jika mereka tidak bekerja mereka diberi setengah jatah.
"Orang Jepang membawa tongkat pendek yang sedikit lebih tebal dari 'tongkat angkuh' dari kulit tenun milik perwira," ujar McDole menceritakan kala itu.
"Para penjaga itu pintar sekali mengaplikasikannya ke ginjal atau bagian belakang kepala dan menjatuhkan pria dalam satu pukulan."
Demi bertahan hidup, ada para tahanan perang yang berkomunikasi dengan warga Filipina yang memberikan mereka informasi serta makanan, dan ketika penjaga Jepang tahu, mereka mengikat tahanan perang itu ke pohon-pohon kelapa dan dipukuli di depan sisa tahanan perang lain.
Bantuan yang menjadi senjata makan tuan
Pada pertengahan Oktober 1944, tahanan kegirangan karena munculnya pesawat B-24 Liberators milik AS, yang kemudian secara teratur mengebom lapangan udara itu.
Dalam satu serangan, pasukan itu menghancurkan 60 pesawat Jepang yang ada di darat.
Namun kedatangan mereka menegaskan rumor jika pasukan penyerbu AS sedang mendekat ke Filipina.
Walaupun girang, tahanan AS juga takut karena para penjaga memiliki tugas untuk membunuh semua tahanan jika pasukan AS menyerang pulau itu.
Komandan kamp kemudian memutuskan tawanan perang harus menggali parit beratap kayu dan tanah gunanya untuk tempat perlindungan serangan udara.
Segera komandan Jepang memerintahkan membangun neraka: tiga tempat penampungan besar dan beberapa yang kecil tersebar di sekitar kompleks penjara. Shelter A menampung 50 orang, shelter B 35 orang, dan shelter C untuk 25-30 tahanan.
Ukurannya adalah kedalaman lima kaki, lebar 4 kaki dan panjangnya 150 kaki, dan sesuai keinginan Jepang, hanya ada satu pintu masuk, cukup kecil menampung karena hanya bisa satu orang masuk pada satu waktu.
Tahanan diinstruksikan masuk ke tempat penampungan saat alarm serangan berbunyi.
Namun para tahanan perang itu mengetahui kenyataan yang sebenarnya dengan cara sangat mengerikan.
Komandan Kojima mengatakan "Pasukan AS, jatah kerja kalian di sini sudah berakhir" dan banyak yang percaya serangan akan datang dan mereka bisa bebas.
Namun yang terjadi berikutnya malah jauh mengerikan, alarm serangan berbunyi, semua tahanan berlari menuju tempat yang sudah disiapkan untuk mereka, termasuk McDole, yang berada di shelter C. Namun ia tidak segera melihat kedatangan pesawat.
Justru yang ia lihat adalah Letnan Sho Yoshiwara memerintahkan pasukannya membentuk formasi dan mengisi amunisi penuh dan memasang bayonet.
Tentara Sawa juga mengenang itu, "Kapten Kojima muncul dan mengumumkan pentingnya membunuh semua tahanan perang."
Pasukan bergerak masuk ke kamp, Letnan Yoshiwara secara langsung memerintahkan penempatan tentara dan memerintahkan tindakan yang diperlukan dan metode pembunuhan, Sawa menjelaskan Yoshiwara memerintahkan siapapun dengan senapan untuk membunuh tahanan perang yang keluar dari penampungan udara itu.
McDole mengintip sebentar, ia melihat beberapa penjaga membawa ember berisi bensin, dan yang lainnya menyalakan obor. Ia lalu melihat mereka menuangkan bensin itu ke shelter B dan melemparkan obor itu. Api segera berkobar dan McDole segera berteriak di dalam tempatnya, "Mereka membunuh para pria di shelter B! Selesaikan penggalian terowongan!"
Lalu tahanan shelter C menggali melebihi pagar kawat berduri agar bisa mencapai jalan keluar sembari McDole mengawasi jika para pasukan Jepang mendekat. Kejadian itu sungguh mengenaskan.
Glenn McDole dievakuasi dari Filipina pada 21 Januari 1945, ia menjadi 11 orang yang selamat dari 159 tahanan perang AS yang meninggal di pembantaian Palawan.
Sisa-sisa kengerian itu berupa tulang belulang yang ditemukan berjejalan di tempat terjauh dari pintu masuk, tunjukkan upaya untuk melarikan diri dari pembantaian.
Para penjaga Jepang masih memiliki nasib yang lebih baik dari pada para tahanan, pejabat perang senior Jepang disidang dan sudah divonis hukuman mati, tapi dikurangi menjadi hukuman penjara 30 tahun.
Hanya 14 penjaga Jepang yang disidang, sedangkan yang lain tidak bsia ditemukan.
Dari 14 itu, 6 dieksekusi dan yang lainnya menerima hukuman penjara dari dua sampai 12 tahun untuk kejahatan perang itu.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini