Advertorial
Intisari-online.com -Semua tahu, salah satu penyebab berakhirnya Perang Dunia II adalah pengeboman kota Hiroshima dan Nagasaki di Jepang oleh Sekutu dengan bom atom.
Namun bom atom bukan satu-satunya bom yang hadir antara Sekutu dan Jepang.
Sabtu, 5 Mei 1945, tiga hari sebelum berakhirnya Perang Dunia II di Eropa dan hanya 3 bulan sebelum Jepang menyerah, ada pecahan logam yang berputar, merobek pohon pinus yang tinggi.
Kerusakan selanjutnya yaitu membuat lubang pada kulit kayu dan merobek daun-daun dari cabang dedaunan.
Kejadian tersebut terjadi di luar komunitas penerbangan kecil di Bly, Oregon.
Setelah bom hancurkan wilayah pegunungan tersebut, gemanya masih lakukan dampak kerusakan di seluruh lanskap pegunungan.
Saat itu semua berakhir, hanya tinggal seorang pria, Archie Mitchell, berdiri di antara enam jenazah yang terbaring di tanah.
Salah satu korban itu adalah Elsie Mitchell, istripastor yang sedang hamil.
Sisanya adalah anak-anak yang bahkan belum sampai usia remaja.
Mitchell, pastor dari Gereja Persekutuan Misionaris Kristen, telah mengundang murid-murid dari sekolah hari Minggunya untuk piknik di Pegunungan Gearhart di Hutan Nasional Fremont.
Mereka pergi dengan mobil Mitchell dan saat Mitchell memarkir mobil serta yang lainnya telah keluar dari mobil, tiba-tiba istrinya, Elsie memanggilnya.
Ia dan distrinya telah temukan sesuatu di tanah, Mitchell sudah berteriak mengingatkan mereka untuk tidak menyentuh benda itu, tapi ia terlambat.
Kemudian, sebuah ledakan tiba-tiba penuhi udara.
Mitchell temukan luka-luka bakar masih ada di tubuh istrinya.
Empat anak kecil, Jay Gifford, Eddie Engen, Dick Patzke dan Sherman Shoemaker, barbaring meninggal di samping istrinya.
Joan Patzke, 13 tahun, selamat dari ledakan itu, tapi ia kemudian meninggal karena luka-lukanya tidak lama kemudian.
Para penjaga hutan sedang menjalankan mesin pengukur di dekatnya, ketika kekuatan ledakan meledakkan salah satu peralatan mereka.
Yang lain segera berlari ke kantor telepon terdekat, tempat Cora Conner menjaga dua saluran telepon kota saat itu.
"Ia memintaku menelepon pangkalan angkatan laut di Lakeview, pangkalan militer terdekat di kota kami," ingat Conner.
"Ia mengatakan kepada mereka telah terjadi ledakan dan ada orang yang meninggal."
Penyebab kematian yang tidak diumumkan
Dalam 45 menit berikutnya, kendaraan pemerintah berhenti di depan kantor telepon tersebut, pejabat militer keluar dari mobil dan bergabung dengan Conner di dalamnya.
"Ia ingatkan aku untuk tidak mengatakan apapun," ujar Conner. "Aku tidak boleh menerima telepon kecuali dari militer, dan juga tidak boleh mengirimkan informasi apapun."
Conner kesulitan karena banyak perusahaan yang protes telepon mereka dialihkan, serta warga lokal yang kehilangan akses mereka untuk menelepon.
Ironisnya, Conner hampir menjadi korban ledakan tersebut.
Dick dan Joan Patzke adalah adiknya, dan ia diajak untuk piknik bersama Pastor Mitchell, tapi ia menolak karena hari itu ia bekerja.
Di lokasi ledakan, pejabat militer bergabung dengan sheriff lokal di tempat kecelakaan tersebut terjadi.
Jasad korban dikelompokkan di dalam radius 10 kaki dari ledakan.
Di pusat ledakan, terbaring debu-debu sisa ledakan sedalam 6 inchi ke dalam tanah.
Serta, ada kertas balon besar yang tergeletak di dekatnya.
Pemerintah AS segera menutupi kejadian tersebut, melabeli 6 pembunuhan sebagai kasus yang tidak diumumkan.
Namun di Bly, banyak warga telah mengerti apa yang terjadi: Elsie Mitchell dan 5 anak kecil merupakan korban dari bom balon musuh mereka, yang ditahan oleh bola besar berisi hidrogen dan diterbangkan dari Jepang ke Amerika Serikat.
Balon itu kemudian mendarat di Pegunungan Gearhart, lalu menunggu seseorang menyentuhnya dan kemudian meledak.
Itu merupakan satu-satunya kasus kematian dari serangan musuh di dalam wilayah Amerika Serikat selama Perang Dunia II.
Komando tinggi Jepang mengirimkan serangan bom balon ke AS selama 6 kali, dari November 1944 sampai musim semi 1945.
Ironisnya, Jepang segera membatalkan program beberapa minggu setelah insiden di Bly, menyebut program tersebut tidak efektif.
Pemerintah AS segera menyuap media, untuk tutupi fakta bahwa ada beberapa ratus bom balon Jepang yang sampai di Pantai Barat Amerika.
Ada yang ditemukan di Washington, kemudian beberapa minggu berikutnya banyak dilaporkan penemuan balon serupa.
Bagi warga Amerika yang tinggal di dekat garis pantai, ancaman invasi Jepang lewat udara atau laut bukanlah hal baru.
September 1942, kapal selam Jepang muncul di permukaan di pantai Oregon dan mengirim pesawat kecil yang jatuhkan bom seberat 165 pon di Hutan Nasional Siskiyou.
Pihak berwenang segera menanggulangi kerusakan yang terjadi.
Jepang segera mengeksplor pilihan serangan jarak jauh mereka, dan juga berencana hancurkan garis pantai AS dengan roket yang ditembakkan dengan kapal selam.
Namun perang berlanjut dan Sekutu mulai mendekat ke Tokyo, sehingga Jepang mulai mengganti rencananya dengan bom balon tersebut.
Meskipun sepertinya terlihat seperti senjata pasif, bom balon menjadi senjata efektif Jepang yanng membawa perang ke pantai AS tanpa perlu membawa lebih banyak orang dan material lagi.
Hebatnya, saat meledak, bom tersebut dapat sebabkan kebakaran hutan hebat di wilayah barat laut AS, mengurangi pihak AS yang siap berangkat perang dan menghancurkan industri kayu AS.
Bom balon tersebut sebenarnya adalah balas dendam dari serangan moral AS, yaitu serangan yang dilancarkan oleh Letnan Kolonel Jimmy Doolittle dan 16 pengebom B-25 yang meluncur dari dek kapal induk USS Hornet untuk hancurkan Tokyo.
Serangan Doolittle merupakan serangan psikologis yang efektif, yang membuat Jepang akhirnya menyerang dengan bom balon mereka.
Proyek bom balon telah dimulai di awal tahun 1930 tapi belum diluncurkan saat itu.
Bisa disimpulkan, bom balon tersebut merupakan kesuksesan tersendiri bagi pasukan Jepang, dengan kemampuan terbang lewati 6000 mil samudra selama 70 jam, dan balon itu harus bisa menentukan posisi tempat ia akan jatuh.
Saat itu Jepang membuat target 10 ribu balon, tapi karena didesak waktu, hanya 300 balon yang terbuat dari karet, sisanya terbuat dari kertas.
Anak-anak sekolah ditugaskan menggambar balon bersama di tujuh pabrik sekitar Tokyo, dan kemudian diisi dengan hidrogen dan membesar mencapai diameter 33 kaki.
Masing-masing balon dibungkus dengan kain yang membawa instrumen ledakan mereka, yaitu lima bom, termasuk 33 pon senjata antipersonal dan beberapa tipe senjata lain.
Jepang memilih meluncurkannya bersamaan dari tiga situs di pulau Honshu yaitu pulau utama dari Jepang.
Masing-masing peluncuran memerlukan 30 personik dan memakan waktu setengah jam, dan dengan cuaca cerah, beberapa ratus balon dapat diluncurkan setiap hari.
Bom balon atau fugo diluncurkan pertama kali pada 3 November 1944, kemudian pengiriman berikutnya merupakan kesuksesan besar.
Sejumlah besar balon yang sukses sampai ke Amerika Utara gagal melepaskan isi bomnya saat sampai, dan saat musim panas tahun 1945, hampir 300 balon yang jatuh dapat ditemukan di 27 negara bagian yang berbeda.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini