Intisari-online.com -Konflik bilateral Nagorno-Karabakh antara Armenia dan Azerbaijan sudah mencapai perdamaian setelah gencatan senjata pada pertengahan November lalu.
Namun kesepakatan damai itu rusak setelah salah satu dari kedua negara melanggar kesepakatan damai.
Diberitakan dari Guardian.com, pejabat Armenia dan Azerbaijan Sabtu kemarin menuduh satu sama lain merusak gencatan senjata yang telah mengakhiri 6 minggu perang Nagorno-Karabakh 2020.
Pemimpin Azerbaijan, Ilham Aliyev, kemudian mengancam akan menghancurkan pasukan Armenia dengan "kepalan tangan besi".
Ketegangan baru ini menandai kerusakan signifikan dari perjanjian damai yang sudah dirancang oleh Rusia pada 10 November lalu.
Dari gencatan senjata tersebut Azerbaijan diuntungkan dengan memenangkan klaim kontrol atas Nagorno-Karabakh dan wilayah di sekitarnya.
Padahal, Nagorno-Karabakh dan sekitarnya telah dipegang oleh pasukan Armenia selama lebih dari seperempat abad.
Diwartakan di Guardian.com, pejabat separatis di Nagorno-Karabakh mengatakan Azerbaijan-lah yang menyerang pertama.
Militer Azerbaijan meluncurkan serangan akhir Jumat, sebabkan tiga petugas etnis Armenia terluka.
Kabar yang sama juga diberitakan oleh organisasi Human Rights Watch, jika pasukan Azerbaijan lakukan serangan indiskriminsasi di Stepanakert.
Kota terbesar di Nagorno-Karabakh, Stepanakert, dikunjungi oleh Human Rights Watch untuk urusan investigasi.
Di sana ditemukan sejumlah insiden tunjukkan pasukan Azerbaijan menggunakan klaster amunisi dan roket artileri atau senjata lain yang tidak membedakan antara target militer dan objek sipil.
Bukti yang berkaitan dengan serangan pada 4 Oktober 2020 lalu tunjukkan jika terjadi serangan bertubi-tubi menyerang rumah penduduk kurang dari semenit.
Hal ini tunjukkan kemungkinan jika rumah penduduk dibombardir oleh pasukan Azerbaijan, dan mereka memperlakukan seluruh wilayah sebagai target militer.
Hal tersebut sudah melanggar hukum perang.
Infrastruktur penting juga diserang pasukan Azerbaijan, yang berdampak pada kehidupan warga.
Sejak Stepanakert dipilih oleh pasukan Armenia dan pasukan lokal Nagorno-Karabakh sebagai pangkalan militer, populasi warga sipil memang menghadapi risiko besar.
"Pasukan Azerbaijan sepertinya keluarkan serangan udara dan darat yang menyerang struktur sipil di kota terbesar Nagorno-Karabakh yang seharusnya diinvestigasi," ujar Lama Fakih, direktur krisis dan konflik di Human Rights Watch.
"Meskipun ketegangan telah berakhir, populasi sipil terus-menerus menderita dari kerusakan infrastruktur yang dihancurkan lewat serangan-serangan itu."
Laporan penjaga perdamaian
Penjaga perdamaian Rusia mengirimkan salah satu pasukannya untuk mengawasi perjanjian damai, dan dilaporkan jika ada pelanggaran gencatan senjata di wilayah Gadrut, Jumat lalu.
Kementerian Pertahanan Rusia mengisukan masalah tersebut pada Sabtu, tapi mereka tidak menyalahkan siapapun.
Beberapa jam kemudian di hari yang sama, kementerian pertahanan Armenia juga menuntut pasukan Azerbaijan mengenai serangan di selatan Nagorno-Karabakh di hari Sabtu,
Presiden Azerbaijan, Ilham Aliyev beraksi Sabtu kemarin dengan menyalahkan Armenia atas ketegangan baru dan mengancam akan "menghancurkan kepala Armenia dengan kepalan tangan besi."
Selanjutnya dikatakan oleh Aliyev dalam pertemuan dengan grup OSCE, grup gabungan negara yang berusaha menengahi konflik Azerbaijan dan Armenia: "Armenia seharusnya tidak mencoba memulai ini semua lagi," kepada AS dan Perancis, anggota grup OSCE.
"Mereka harusnya berhati-hati dan tidak merencanakan aksi militer apapun. Kali ini kami akan benar-benar menghancurkan mereka. Ini tidak seharusnya menjadi rahasia bagi siapapun."
Kementerian pertahanan Azerbaijan mengeluarkan pernyataan akhir Sabtu kemarin jika pasukan mereka menghentikan "provokasi" Armenia dan mengembalikan gencatan senjatanya.
Sementara itu, disebutkan oleh pejabat Armenia jika serangan terjadi di dekat desa Hin Tager dan Khtsaberd, dua desa di wilayah Gadrut yang masih dipegang oleh pasukan Armenia.
Disebutkan juga jika pasukan Azerbaijan telah memenuhi dua desa tersebut, dan memblokir satu-satunya jalan antara desa itu ke pasukan Armenia.
Konflik di tahun 2020 ini dimulai pada akhir September dan berlangsung selama 44 hari, sebabkan lebih dari 5600 orang meninggal dari kedua negara.
Pasukan Azerbaijan terus-terusan merangsek maju semakin dalam ke Nagorno-Karabakh, memaksa Armenia menerima perjanjian damai bulan lalu, yang memberikan Azerbaijan klaim untuk sebagian besar wilayah separatis bersama dengan wilayah sekitarnya.
Rusia telah mengirimkan hampir 2000 pasukan penjaga perdamaian selama setidaknya 5 tahun untuk memonitor perjanjian damai dan membantu kembalinya para pengungsi.
Azerbaijan menandai kemenangan mereka dengan parade militer Kamis kemarin yang dihadiri oleh presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan.
Parade militer tersebut juga melibatkan lebih dari 3000 pasukan, lusinan senjata militer dan pesawat tempur.
Sementara itu mental Armenia rusak karena kesepakatan damai tersebut, membuat banyak warga meminta agar perdana menteri Nikol Pashinyan mundur.
Namun Pashinyan menolak mundur dan menjelaskan jika perjanjian damai tersebut merupakan langkah penting yang mencegah Azerbaijan mengambil alih seluruh Nagorno-Karabakh.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini