Intisari-Online.com - Konflik Laut China Selatan melibatkan banyak negara, termasuk Amerika Serikat dan Filipina yang berada di satu kubu melawan China.
Baru-baru ini AS menandatangani dokumen untuk menyerahkan peralatan militer bernilai besar.
Tentu bukan tanpa alasan AS 'manjakan' mitranya itu, lalu untuk apa?
Melansir 24h.com (9/12/2020), South China Morning Post pada 8 Desember melaporkan bahwa penjabat Menteri Pertahanan AS Christopher Miller baru saja melakukan kunjungan resmi ke Filipina.
Ia menandatangani dengan mitranya Delfin Lorenzana dokumen untuk menyerahkan lebih dari $ 29 juta (setara sekitar Rp410 miliar) peralatan militer.
Itu termasuk berbagai penembak jitu dan kendaraan pelucutan senjata bom rakitan.
"Senjata-senjata ini benar-benar merupakan isyarat yang mulia bagi Washington dan bukti kuatnya aliansi Filipina-AS.
"Senjata-senjata ini juga akan memodernisasi militer Filipina untuk merespons ancaman secara lebih efektif. Ancaman keamanan baik tradisional maupun tidak biasa " Lorenzana membenarkan.
Menurut pernyataan dari Kantor Menteri Lorenzana mengenai pertemuan dengan Miller, keduanya juga melakukan diskusi tentang posisi strategis kawasan Indo-Pasifik saat ini dan lainnya.
Disebut bahwa diperlukan langkah-langkah untuk menjaga area tersebut tetap bebas dan terbuka.
South China Morning Post mengatakan Filipina saat ini merupakan negara yang paling banyak menerima bantuan militer dari AS di Asia Tenggara, mengutip sumber dari Kedutaan Besar AS di Filipina.
Sejak 2015, Amerika Serikat telah mengirim Filipina banyak pesawat, kapal, kendaraan lapis baja, dan senjata kecil senilai hampir $ 685 juta.
Kini, di akhir masa pemerintahan Donald Trump, AS masih terus memasok peralatan militer ke negara tersebut.
Banyak komentar mengatakan bahwa menyumbangkan sejumlah besar peralatan militer ke Filipina dapat menjadi langkah terakhir Presiden Donald Trump untuk memastikan bahwa sekutu Filipina itu memiliki kekuatan yang cukup untuk menghadapi China setelah kepergiannya.
Pekan lalu, ketegangan AS-China atas masalah Laut China Selatan terus meletus setelah pos ledakan Miller di The Philippine Star.
Pejabat itu secara blak-blakan mengkritik Beijing karena menggunakan COVID-19 untuk memperluas pengaruh di Laut China Selatan, menggunakan pasukan angkatan laut, pasukan maritim dan milisi maritim untuk memperkuat klaim maritim ilegal dan penindasan negara tetangga.
Sementara pada 2019, Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo juga pernah mengonfirmasi bahwa Washington siap mendukung Manilla jika diserang di Laut China Selatan sesuai dengan ketentuan Joint Defense Treaty (MDT) yang ditandatangani kedua belah pihak tahun 1951.
Mengutip news.com.au,Jenderal tertinggi Pentagon, Mark Milley, menyarankan beberapa strategi yang perlu dilakukan AS untuk menghadapi China.
Menurutnya, untuk mencegah China menguasai Pasifik barat dalam konflik, AS harus memiliki unit berbasis darat di Filipina, Vietnam dan Australia, yang mengoperasikan baterai rudal presisi jarak jauh yang dapat menghancurkan kapal angkatan laut China.
“Mengapa kita harus menyerahkan ruang itu kepada mereka? Seharusnya kita tidak melakukannya,” katanya.
Selain itu, secara umum AS juga harus sepenuhnya merangkul robotika dan kecerdasan buatan jika ingin mempertahankan keunggulan dari China, mengingat China dengan cepat telah mengembangkan kemampuan semacam itu.
Menurutnya, senjata robotik akan menjadi umum di seluruh dunia dalam 10 atau 15 tahun.
"Mereka (China) tidak hanya ingin mencocokkan kami tetapi melebihi kami, mendominasi kami, dapat mengalahkan kami dalam konflik bersenjatapada pertengahan abad," kata Ketua Umum Gabungan Mark Milley dalam simposium online di Institut Angkatan Laut AS.
Katanya, Pentagon membutuhkan pasukan yang lebih kecil dan lebih mampu yang dipersenjatai dengan rudal jarak jauh yang ditempatkan lebih luas di seluruh Asia untuk bersaing dengan China.
Baca Juga: Salah Satunya Kini Diandalkan Jaga 'Paru-paru Bumi', Inilah Militer Paling Kuat di Dunia
“Kami berada di tengah-tengah perubahan mendasar dalam karakter perang,” kata Milley.
Milley juga menekankan strategi lainnya yaitu dengan menggunakan pasukan yang lebih kecil dan sulit terdeteksi.
Ia mengatakan AS harus mengecilkan jejak militernya di luar negeri, bahwapangkalan permanen di tempat-tempat seperti Korea Selatan dan Bahrainmembuat pasukan AS, keluarga dan staf mereka rentan.
"Saya bukan penggemar pangkalan militer permanen besar dari AS di luarnegeri, di negara orang lain," katanya. "Pasukan yang lebih kecil, tersebar luas, yang sangat sulit dideteksi akan menjadi kunci untuk militer masa depan."
(*)
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik? Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik dihttps://www.gridstore.id/brand/detail/27/intisari