Advertorial
Intisari-Online.com -Sebuah negarasepertinya memang benar-benar ingin Trump yang memimpin Amerika Serikat selama dua periode.
Pada 2016, negara ini, melalui sebuah penyelidikan rahasia CIA, disebut membantu Donald Trump untuk duduk di kursi Presiden Amerika Serikat.
Donald Trump sendiri sudah mati-matian menolak bahwa negara tersebut sudah membantunya memenangi Pilpres AS pada 2016.
Namun, sebagian besar orang sudah kadung menganggap bahwa kemenangan Trump secara mengejutkan pada 2016 memang janggal.
Baca Juga: Sejak Awal Sudah Yakin Joe Biden Menang, Mengapa China Malah Tak Sudi Beri Selamat?
Kini, dalam Pilpres AS 2020, keberadaan negara ini di balik kemenangan Trump pada 2016 perlahan menguat.
Pemicunya adalahketika Donald Trump kalah oleh Joe Biden, negara ini mulai merecoki hasil Pilpres AS melalui kepala "KPU-nya".
Sang Kepala KPU negara ini membongkar segala kebobrokan dari sistem Pilpres AS, khususnya mengenai celah-celah kecurangan.
Negara apa yang dimaksud? Simak ulasannya di bawah ini.
Curang tapi tak melanggar
Sebuah penyelidikan rahasia yang dilakukan CIA menemukan bahwa Rusia mencari cara untuk memenangkan Donald Trump dalam Pilpres AS.
Kabar ini dimuat The Washington Post setelah Presiden Barack Obama memerintahkan evaluasi dugaan serangan siber terhadap proses Pemilihan Presiden 2016.
Harian itu mengutip pernyataan sejumlah pejabat yang menyebut sejumlah individu memiliki hubungan dengan Moskwa memberikan sejumlah e-mail rahasia tim Hillary Clinton kepada Wikileaks.
Surat-surat elektronik itu kemudian dirilis secara bertahap beberapa bulan sebelum pemilihan presiden digelar.
The Washington Post menulis, tujuan Rusia adalah membantu Donald Trump menang tanpa melanggar proses Pemilihan Presiden AS.
"Ini adalah penilaian yang dilakukan komunitas intelijen AS bahwa tujuan Rusia adalah membantu Trump memenangkan pemilu," demikan The Washington Post mengutip seorang senator.
Gagal untuk kedua kali
Kepala pemilu Rusia pada Senin (9/11/2020) berkata, pemungutan suara di pilpres AS (pemilihan presiden Amerika Serikat) melalui kiriman surat memiliki banyak celah untuk penipuan suara besar-besaran.
Pernyataan itu sependapat dengan yang disebut Donald Trump, saat menolak metode mail-in ballots di pemilu AS.
Ella Pamfilova kepala komisi pemilihan Rusia berujar, dia sudah mempelajari dengan cermat pemungutan suara melalui surat di Amerika Serikat, dan menemukan prosesnya rawan terjadi penipuan.
"Bagi saya kesimpulannya jelas: anakronisme dalam bentuk Amerika ini menciptakan ruang yang sangat besar untuk kemungkinan pemalsuan," ujarnya kepada kantor berita pemerintah Rusia TASS, dikutip Kompas.com dari AFP.
Dia menyebut adanya kemungkinan pemungutan suara ulang, hilangnya surat suara yang tak terduga dan tak dapat dijelaskan, pengambilan suara dari orang-orang yang sudah meninggal, dan kurangnya kontrol sistemik atas seluruh proses pemungutan suara.
Trump telah menolak mengakui kekalahan dari presiden terpilih AS Joe Biden, dan mencoba menebar keraguannya tentang hasil pemilu tapi tanpa memberi bukti.
Kritik dari Presiden ke-45 AS itu menyoroti lonjakan surat suara tahun ini di pilpres Amerika Serikat dan sangat condong ke Demokrat.
Sebelumnya Rusia sempat dituduh ikut campur dalam pemilu Amerika Serikat 2016 untuk membantu Trump terpilih, dengan harapan dia akan bersikap lebih lembut ke Moskwa.
Biden sebaliknya diperkirakan akan bersikap lebih keras, dan selama kampanye mengecam Trump karena merangkul banyak otokrat di dunia, dimulai dengan (Presiden Rusia) Vladimir Putin.
Putin sendiri adalah satu dari segelintir kepala negara yang belum memberi selamat ke kemenangan Biden di pilpres Amerika 2020.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Pilpres Amerika: Kepala Pemilu Rusia Beberkan Banyak Celah Pemalsuan Suara", Klik untuk baca: https://www.kompas.com/global/read/2020/11/09/180216370/pilpres-amerika-kepala-pemilu-rusia-beberkan-banyak-celah-pemalsuan-suara.Penulis : Aditya Jaya IswaraEditor : Aditya Jaya Iswara