"Jadi masalah yang terjadi adalah ketidakmampuan Pemerintah mengelola produksi nasional sejak awal," terang Singgih.
Lebih jauh, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa mengatakan bahwa kenaikan tingkat volume produksi dan ekspor batubara juga terjadi karena pemerintah ingin meningkatkan pendapatan baik dari penerimaan pajak produksi, devisa ekspor maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
"Dalam lima tahun terakhir produksi batubara ditargetkan naik terus karena hasil ekspor dipakai menambal defisit neraca transaksi berjalan.
"Pengusaha batubara juga aji mumpung meningkatkan ekspor," kata Fabby.
Oleh sebab itu, Fabby menekankan bahwa pemerintah dinilai perlu melakukan pemetaan ulang target produksi batubara.
Menurutnya, penghentian ekspor batubara seharusnya bukan sekadar wacana.
Merujuk pada skenario International Energy Agency's (IEA) Net Zero Emission di World Energy Outlook (WEO) 2020, permintaan batubara untuk pembangkitan listrik akan turun 66% di kurun waktu 2019-2030.
Alhasil, target RUEN untuk menghentikan ekspor batubara selambat-lambatnya tahun 2046 semestinya bukan isapan jempol belaka.
Penulis | : | Maymunah Nasution |
Editor | : | Maymunah Nasution |
KOMENTAR