Advertorial
Intisari-online.com -Papua selama ini mendapatkan pendanaan Otonomi Khusus dari pemerintah pusat.
Dana Otonomi Khusus atau Otsus disahkan pada tahun 2001 menurut Undang-Undang Otonomi Khusus Papua.
Banyak yang memprotes ke mana saja dana ini karena banyak masyarakat Papua yang merasa tidak mendapatkannya.
Namun rupanya tidak sedikit warga Papua yang berharap akan kelanjutan Otsus.
Agustus lalu sejumlah warga Papua yang terdiri dari tokoh adat, agama dan masyarakat di Provinsi Papua berharap Otsus dilanjutkan dengan sejumlah evaluasi.
Yanto Eluay, salah satu tohoh adat Tabi di Jayapura mengakui, warga di wilayah adat Tabi dan Saireri lakukan konsolidasi untuk membahas masalah dukungan terhadap evaluasi dan kelanjutan otonomi khusus Papua jilid II.
"Untuk elemen adat sudah memulai pembahasan sedangkan untuk elemen pemuda dan yang lainnya saat ini baru mulai pembahasan.
"Namun pada umumnya semua berharap Otsus untuk dievaluasi dan ada kelanjutannya," paparnya.
Warga adat Tabi dan Saireri rupanya menggelar pertemuan akbar untuk membahas hal tersebut, harapannya bisa mendapatkan saran dan masukan bagaimana Otsus lebih maksimal lagi.
"Semua masyarakat harus melihat pelaksanaan Otsus ini dari sisi kesejahteraan masyarakat.
"Seluruh masyarakat adat di tanah Papua agar mendukung langkah-langkah yang akan dilakukan dan diputuskan pemerintah pusat dalam rangka mensejahterakan rakyat Papua," ujar Yanto.
Mengutip Antara News, tokoh masyarakat Yalimo di Kota Jayapura Soleman Eselo mengaku pelaksanaan Otsus Papua sangat membantu orang pegunungan berhasil di berbagai bidang.
"Sejak 1981, tugas saya adalah mendidik orang dan sudah banyak anak didik saya dari masyarakat pegunungan menjadi pejabat.
"Dengan adanya dana Otsus kami banyak mendapat bantuan, mungkin bila tidak ada Otsus, gedung kami masih jelek dan rusak, maka saya mohon Otsus dilanjutkan untuk membangun Papua," ujar Soleman.
Tokoh agama Pendeta Merry Lauren Wompere, jemaat GKI Solagratia, Arso II Kabupaten Keerom, mengaku bahwa Otsus Papu memberikan pembangunan yang lebih baik di Papua, terutama dibandingkan dengan sebelum adanya Otsus.
"Saya Pendeta Merry Lauren Wompere mewakili jemaat GKI Solagratia Jaifuri sangat berharap Otsus Papua tetap berlanjut demi pembangunan dan kemajuan di Papu, pihak yang menolak Otsus Papua sama sekali tidak mewakili suara nurani orang Papua, mereka adalah musuh masyarakat Papua," ujar Pendeta Merry.
Senada dengan Pendeta Merry, Tiombro Wenda, wakil kepala suku pegunungan tengah di Kabupaten Keerom mengakui mewakili warganya berharap ada kelanjutan kebijakan Otsus Papua jilid II.
DPR sendiri telah mamsukkan pembahasan status Otsus Papua dalam daftar prioritas Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun ini.
Diskusi membahas apakah perlu dilanjutkan tidak Otsus tersebut, bersamaan dengan undang-undang yang menjamin warga Papua memiliki hak untuk menangani wilayah mereka sendiri secara politik, ekonomi dan budaya.
Pembahasan ini sudah di ranah elit dan juga di ranah masyarakatnya.
Terbaru, beberapa perwakilan komunitas Papua di Wamena, berdebat akan hal ini pada Jumat kemarin.
Selama diskusi, angota dari suku Yali Hubula mengatkaan Otsus selama 20 tahun terakhir telah gagal membawa kesejahteraan untuk warga Papua.
Kepala Komite Komunitas Suku Yali Hubula, Simon Surabut, mengatakan bahwa DPRD Papua harusnya transparan menentukan masalah ini.
Surabut sebutkan selama 20 tahun pelaksanaan Otsus di Papua, kesejahteraan hanyalah mimpi bagi semua komponen komunitas Papu.
Serta, banyak masalah yang muncul, termasuk kerusakan serius yang merusak sumber daya alam.
Ketidakpuasan ini juga disuarakan oleh Dolina Yogobi, feminis lokal yang mengklaim beberapa wanita Papua gagal mendapatkan keuntungan dari Otsus, sehingga mereka menolak kelanjutannya di masa depan.
Beberapa pemuda juga laksanakan demo di Timika pada 23 September 2020, menuntut dihentikannya Otsus.
Pihak yang mendukung Otsus menyebutkan bahwa hal ini adalah hak istimewa yang hanya didapatkan oleh Aceh dan Papua, sehingga harus didukung oleh warganya.
Otsus juga dipandang beberapa komunitas Papua sebagai refleksi kekhawatiran Indonesia terhadap warga Papua.
Pemerintah pusat juga sudah laksanakan pembangunan jalan raya sejauh 4300 kilometer dari kota Sorong, Papua Barat, ke Merauke, Papua.
Jalan itu dibangun untuk menghubungkan wilayah-wilayah yang terisolasi di bumi Cendrawasih itu.
Membangun jalan raya tersebut tentunya bukan hal mudah, mengingat kondisi geografis wilayah yang sulit dijangkau serta ancaman keamanan yang muncul dari kelompok bersenjata KKB Papua yang beroperasi di beberapa wilayah.
Baca Juga: Kerusuhan Kembali Pecah di Papua, Benarkah Mereka Sudah Tak Sudi Bergabung dengan Indonesia?
Membangun kesejahteraan warga Papua memang merupakan tantangan, salah satunya kondisi demografi sosial warga Papua yang terlibat dalam konflik kekerasan bersenjata beberapa tahun belakangan.
Untuk tunjukkan kondisi sosial demografi yang telah mempengaruhi upaya perkembangan di Papua dan Papua Barat, pusat penelitian Indonesia LIPI telah merilis tiga buku.
Buku-buku tersebut menuliskan hasil studi demografi sosial yang dilakukan di distrik Sorong dan Tambrauw, Papua Barat pada 2019.
Tiga buku tersebut antara lain 'Orang Asli Papua: Kondisi Sosial Demografi dan Perubahannya', 'Pendidikan Sebagai Jalan Terang: Membangun Pendidikan yang Responsif terhadap Kondisi Geografis, Demografi, Sosial', dan 'Kesehatan Ibu dan Anak Orang Asli Papua: Antara Ketersediaan Layanan dan Tantangan Sosial Budaya'.
Ingin mendapatkan informasi lebih lengkap tentang panduan gaya hidup sehat dan kualitas hidup yang lebih baik?Langsung saja berlangganan Majalah Intisari. Tinggal klik di sini