Advertorial
Intisari-online.com - Praktik korupsi adalah penyakit yang sering muncul di negara-negara dengan ekonomi berkembang.
Bahkan hampir dipastikan bahwa kasus korupsi dan suap menyuap, nyaris ditemukan di hampir seluruh dunia, tanpa terkecuali.
Sementara di Timor Leste, praktik korupsi menjadi sesuatu yang sulit untuk diungkap terutama oleh jurnalis karena hukum yang berlaku di negara itu.
Sementara itu, praktik Korupsi di negara itu juga nyaris sedikit diberitakan oleh beberapa media.
Namun, ada sebuah media dari Australia yang pernah sesekali membicarakan praktik korupsi di negara itu.
Melansir The Sydney Morning Herald, tahun 2009, Pemerintah Timor Leste pernah mengakui, bahwa pejabat yang korup di negara itu biasanya bekerja di bidang, pajak, bea cukai, dan pengadaan barang.
Tetapi mereka yang diruduh kerap kali mangkir dengan penolakan bahwa tidak ada korupsi di dalam kantornya.
Pada tahun yang sama Menteri Keuangan, Emilia Pires, menyalahkan partai oposisi Fretilin atas kasus korupsi di negaranya.
Dengan mengatakan bahwa Pemerintah diserang karena penolakan kami untuk mengambil bagian dalam praktik korupsi segelintir orang.
"Tidak ada korupsi di kantor saya kecuali yang didirikan oleh pemerintahan sebelumnya (Fretilin) dan itu dibasmi dengan lambat, itulah mengapa Kementerian Keuangan sekarang menjadi sasaran serangan yang tidak beralasan ini," kata Pires.
Selama berminggu-minggu Fretilin, partai politik terbesar, yang kehilangan kekuasaan pada tahun 2007.
Menuduh korupsi yang meningkat di departemen-departemen pemerintah di Dili, khususnya Departemen Keuangan.
Partai itu membocorkan dokumen kepada wartawan Timor yang mengungkapkan bahwa penasihat asing di Timor Leste, beberapa dari mereka orang Australia, dibayar lebih tinggi daripada Perdana Menteri Australia.
Fretilin kemudian meminta Jaksa Agung, Ana Pessoa, untuk menyelidiki klaim balas dendam terhadap penasihat Australia di Kementerian Keuangan, Graham Daniel, atas bayarannya.
Pires merilis dokumen di Dili yang menunjukkan bahwa ketika Fretilin berkuasa, ia memberikan gaji kepada penasihat asing sebesar 568.000 dollar AS.
Beberapa kontrak dibayar dari anggaran negara Fretilin sementara sebagian besar penasihat asing yang ada di Dili saat ini terikat kontrak Bank Dunia.
Pengusaha Australia mengeluh tentang pemberian kontrak. Pemerintah memberikan kontrak senilai 400 juta dollar AS kepada perusahaan milik Pemerintah China untuk membangun dua pembangkit listrik tanpa meminta tender terbuka.
Sementara itu Amnesty Internasional, mengatakan bahwa hukum di Timor Leste memudahkan pelaku korupsi untuk menyerang balik jurnalis yang menuduhnya.
Tahun 2013 misalnya, dua jurnalis Timor Leste yang berusaha mengungkap praktik korupsi justru dituduh melakukan pengaduan fitnah.
Oscar Maria Salsinha dari surat kabar Suara Timor Lorosa'e dan Raimundo Oki dari surat kabar Independente.
Kedua wartawan tersebut dituduh melakukan "pengaduan fitnah", yang diancam hukuman maksimal tiga tahun penjara atau denda.
Dakwaan tersebut bersumber dari pasal terpisah yang ditulis Salsinha dan Oki pada 31 Desember 2011 dan 2 Januari 2012.
Keduanya terkait dugaan keterlibatan Jaksa Penuntut Umum dalam menerima suap dalam kasus kecelakaan lalu lintas yang terjadi pada 18 Oktober 2011.
"Kedua jurnalis ini tidak melakukan apa-apa selain pekerjaan mereka dan menggunakan hak mereka atas kebebasan berekspresi dengan melaporkan kemungkinan korupsi dalam sistem peradilan," kata Isabelle Arradon, Wakil Direktur Asia-Pasifik Amnesty International.
"Jika mereka terbukti bersalah, itu bisa menjadi preseden berbahaya bagi jurnalis dan pembela hak asasi manusia di Timor-Leste, di mana sistem hukum dapat digunakan untuk membungkam suara-suara kritis," katanya.
"Ini juga akan mengirimkan sinyal mengerikan tentang masalah kebebasan berekspresi dan media yang lebih luas di negara ini," tambahnya.
"Meskipun setiap orang berhak atas perlindungan dari serangan yang melanggar hukum atas reputasi mereka, ini seharusnya menjadi masalah litigasi perdata, bukan hukum pidana."
Kedua jurnalis itu didakwa melanggar Pasal 285 KUHP Timor Leste yang mengkriminalkan "pengaduan fitnah."
Ketentuan hukum tersebut tidak sesuai dengan penghormatan penuh dan perlindungan kebebasan berekspresi sebagaimana diatur dalam Pasal 19 Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, yang diratifikasi Timor Leste pada 2003, serta konstitusi Timor Leste.