Advertorial
Intisari-online.com - Bagi Timor Leste minyak merupakan aset yang sangat berharga karena menjadi satu-satunya penopang ekonomi negara tersebut.
Di seluruh dunia, dan banyak negara, termasuk Timor Leste, minyak dan gas memberikan kekayaan luar biasa bagi sebagian warga negaranya.
Tetapi banyak negara dengan kekayaan minyak berlimpah, justru mengalami kerugian daripada keuntungan.
Ini berlaku bagi negara yang tidak memiliki pemerintahan yang mapan, tradisi demokrasi yang usang, dan dasar ekonomi yang rapuh.
Mengutip lembaga penelitian Timor Leste La'o Hamutuk, banyak orang seluruh dunia, seperti Venezuela, hingga Nigeria atau mungkin Timor Leste, sebaiknya tidak pernah menemukan minyak.
Minyak di negara miskin, lebih sering tidak menguntungkan sebagian besar rakyatnya sendiri.
Uang yang dihasilkan hanya akan diembat beberapa orang, dan mengarah pada kebijakan yang salah atau tidak berkelanjutan.
Industri inyak dapat merusak lingkungan, dan seringkali berakhir pada pelanggaran HAM, dan ini terjadi pada banyak cara.
Pejabat publik dan perusahaan, dan dapat menyebabkan penipuan atau penyuapan.
Dari Shah Iran, Sani Abacha Nigeria hingga Saddam Hussein Irak, para diktator telah mengambil alih kekuasaan untuk mendapatkan keuntungan besar minyak.
Mereka menggunakannya untuk keuntungan pribadi, untuk mempertahankan kendali, dan untuk mendanai represi.
Tetapi bahkan di negara-negara kaya dan demokratis, korupsi tersebar luas di industri minyak.
Minyak sangat berharga sehingga pemerintah berperang untuk mendapatkannya.
Menurut lembaga itu salah satu alasan utama Australia mendukung invasi Indonesia ke Timor Leste adalah untuk mendapatkan akses ke minyak Laut Timor.
Dan di Timur Tengah, keinginan Eropa akan minyak menjadi motivasi utama bagi penjajahan Inggris dan Prancis setelah Perang Dunia I.
Baru-baru ini, salah satu alasan utama invasi pimpinan Amerika Serikat ke Irak setahun yang lalu adalah keinginan Amerika untuk lebih mengontrol pasokan minyak global.
Sementara di Timor Leste, merekatidak memiliki tradisi keterlibatan publik yang konstruktif dalam pembuatan kebijakan.
Bagi kebanyakan orang, seluruh hubungan mereka dengan pemerintah sebelum 1999 mengalami perlawanan.
Pejabat pemerintah cenderung protektif terhadap informasi dan enggan mempercayai masyarakat sipil.
Misalnya, rancangan undang-undang jarang ditampilkan kepada publik sampai disetujui oleh Dewan Menteri.
Dan ketika pejabat terlibat dengan masyarakat sipil, sosialisasi sering kali menggantikan konsultasi, di mana pemerintah memberi tahu orang-orang apa yang akan dilakukan daripada menanyakan apa yang diinginkan atau dibutuhkan masyarakat.
Pola ini dibuat oleh Indonesia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan akan sulit untuk dihilangkan.
Kemudian pada pemerintahan Timor Leste yang baru, hanya ada sedikit undang-undang dan peraturan yang berlaku, dan baik warga negara maupun pegawai negeri tidak mengetahui hal itu.
Lembaga itu kurang memiliki pemahaman yang kuat tentang apa yang dapat diterima dan apa yang tidak.
Tanpa pegawai negeri yang profesional dan berpengalaman, kemungkinan korupsi atau penerapan hukum yang tidak konsisten akan meluas.
Perlu waktu untuk membangun tradisi kejujuran, transparansi, dan akuntabilitas.