Advertorial
Intisari-Online.com - Meski sama-sama merupakan 'penyakit', namun tidak dapat dipungkiri pandangan terhadap keduanya sangat berbeda.
Jika penyakit fisik sering kali dianggap 'biasa', penyakit mental justru harus menghadapi tantangan stigma.
Hal itu memberikan konsekuensi yang sangat luas. Itu membuat pengidap penyakit mental terlihat buruk–yang sama sekali tidak benar–dan bisa mencegah seseorang mencari bantuan terkait kondisinya.
Baca Juga: Anak yang Kelebihan Berat Badan Berisiko Kecemasan dan Depresi
Bagian terburuknya? Banyak orang yang berkontribusi menciptakan stigma tersebut. Anda pun mungkin pernah meremehkan penyakit mental tanpa disadari. Berikut kelima tandanya:
Dengan mudah menggunakan istilah “depresi”
Mungkin, ada teman Anda yang sedih berlebihan akibat masalah yang sedang dihadapinya. Namun, dibanding menghiburnya, Anda lebih memilih menghakiminya dengan mengatakan bahwa ia mengidap depresi. Ini merupakan salah satu contoh Anda merendahkan penyakit mental.
“Kesadaran berbahasa sangat penting,” ujar Shari Harding, ahli kesehatan mental dan profesor keperawatan di Regis College.
“Kita mungkin sering berlebihan dalam menghadapi sesuatu, tetapi penting sekali untuk menghindari penyalahgunaan bahasa,” tambahnya. Jangan asal menggunakan kata depresi.
Menyalahkan penyakit mental untuk kasus kejahatan
Banyak orang mengaitkan penyakit mental dengan praktek kejahatan. Salah satunya kasus penembakkan massal di Amerika Serikat.
Padahal, menurut penelitian, orang-orang dengan gangguan mental cenderung menjadi korban kekerasan, bukan pelaku.
Sebuah studi pada 2015 juga menunjukkan bahwa hanya ada 5% pelaku penembakan massal yang mengidap penyakit mental.
Baca Juga: Manfaat Biji dan Daun Ketumbar untuk Kulit yang Cantik dan Sehat
Menyebut pengidap penyakit mental sebagai “orang gila”
Sering sekali frasa “orang gila” digunakan untuk menghina seseorang dengan penyakit mental.
Istilah yang cenderung merendahkan inilah yang pada akhirnya semakin melanggengkan gagasan tidak akurat mengenai penyakit mental.
Menurut Dan Reidenberg, direktur eksekutif Suicide Awareness Voices of Education, adanya stigma membuat pengidap penyakit mental merasa malu dan takut untuk mencari bantuan.
“Komentar-komentar tidak sopan itu yang mengacaukan pikiran mereka. Banyak orang menganggap sebutan 'orang gila' sebagai hal sepele, namun kenyataannya, itu melukai hati mereka yang memiliki masalah mental,” paparnya.
Mendiskriminasi pengidap penyakit mental
Jika ada pengidap penyakit mental yang menunjukkan perilaku abnormal, banyak orang akan menghujatnya. Menurut Laura Nitzberg, asisten direktur untuk kerja sosial psikiater di University of Michigan Medical Center mengatakan, hal tersebut menunjukkan sikap negatif terhadap gangguan mental.
“Kita perlu melihat diri sendiri ketika berada di sekitar orang yang mengidap penyakit mental. Kita perlu mengatasi prasangka dan bias yang diciptakan sendiri,” katanya.
Yang perlu digarisbawahi adalah: penyakit mental harus diperlakukan dengan sensitivitas dan pemahaman yang sama dengan penyakit fisik.
Semua orang harus menyadari bahwa mereka mungkin juga mendorong stigma buruk yang berkembang di masyarakat dan harus segera mengoreksinya.
“Kita semua memliki peran untuk mengurangi dan menghilangkan stigma terkait penyakit mental,” kata Reidenberg.
“Jika Anda mendengar seseorang mengatakan hal buruk tentang gangguan mental, tegurlah dia. Jika membaca sesuatu yang salah tentang penyakit mental, jelaskan kepada orang lain bahwa itu tidak benar. Yang paling penting, coba lihat cermin dan tanyakan pada diri sendiri: ‘Apakah saya ingin menjadi seseorang yang mendiskriminasi orang lain hanya karena penyakitnya?’” pungkasnya.
Artikel ini telah tayang di Nationalgeographic.grid.id dengan judul Empat Tanda Anda Meremehkan dan Merendahkan Penyakit Mental