Advertorial

Inilah Penyebab Pria Lebih Sulit Memeriksakan Kesehatan Mental

Trisna Wulandari
,
Tatik Ariyani

Tim Redaksi

Banyak stigma membuat banyak orang tidak ingin mengakui bahwa mereka memiliki masalah mental, terutama pria.
Banyak stigma membuat banyak orang tidak ingin mengakui bahwa mereka memiliki masalah mental, terutama pria.

Intisari-Online.com - Depresi masih dekat dengan stigma sebagai tanda kelemahan.

Stigma ini membuat banyak orang tidak ingin mengakui bahwa mereka memiliki masalah mental, terutama pria.

Di Indonesia, 83-91% orang dengan depresi tidak mencari pengobatan dan tidak mendapat pengobatan yang layak, menurut penelitian Dr. dr. Margarita M. Maramis, Sp.KJ (K).

Rendahnya pemeriksaan diri dan pengobatan penyakit mental berbanding terbalik dengan tingkat pemeriksaan penyakit fisik yang mencapai 94%.

Baca Juga: Kisah Habibie saat Ditinggal Cinta Sejati: Depresi Berat Sampai Punya Opsi Dimasukkan Ke RS Jiwa, Sembuh Berkat 'Catatan'

Konsultan kesehatan Raymond Hobbs menuturkan dalam Healthline, ketimpangan ini ditengarai kecenderungan kita untuk tidak melihat penyakit mental sama akarnya dengan penyakit fisik, seperti diabetes.

Padahal, saat ini telah banyak pembahasan yang mengungkapkan bahwa penyakit mental juga terjadi karena perubahan kimiawi di otak dan tubuh, sebagaimana penyakit fisik.

Dan seperti halnya penyakit fisik, penyakit mental bisa sembuh.

Namun Raymond menuturkan, terutama pada pria, masalah mental dilihat sebagai masalah personal dan kurangnya ketabahan menghadapi masalah pribadi.

Baca Juga: Banyak Ditemukan di Indonesia, Ini 7 Manfaat Minyak Sereh, Dapat Bebaskan Racun dari TUbuh hingga Lawan Depresi!

Ditambah lagi dengan tekanan pada pria untuk selalu menjadi kuat.

Stigma dan tekanan sosial ini membuat pria kian urung memeriksakan kesehatan mental pada petugas profesional.

“Ketika kita sudah menekan stigma dan mengembangkan support pun, pria masih mengalami rasa malu dan rasa bersalah yang membuat mereka enggan mencari pertolongan,” ujar Zach Levin dari yayasan pengobatan adiksi Hazelden Betty Ford Foundation, dalam Healthline.

Baca Juga: Curhat Ternyata Bisa Buat Kita Terhindar dari Gangguan Mental, Ayo Kenali Gejala dan Pengobatan Skizofrenia

Racun Maskulinitas

Podcast American Psychological Association juga menyebut tuntutan untuk terlihat maskulin juga menjadi beban bagi pria di hubungan sosialnya.

Raymond menuturkan, pria seringkali dibesarkan dengan ajaran untuk menjadi kuat dan tenang.

Levin menambahkan, pria juga jadi jatuh pada pemikiran bahwa mereka harus cukup kuat untuk menyelesaikan semua masalahnya sendiri.

Dengan demikian, pria memiliki ketakutan jika memperlihatkan kerapuhannya, bahkan saat sakit fisik sekalipun, mereka jadi kehilangan respek.

Alhasil, mereka jadi memercayai bahwa mereka bisa menyelesaikan semua masalahnya dengan cepat dan segera beralih ke hal yang lain, sehingga mereka bisa jatuh pada kondisi denial, bahwa mereka tidak ada masalah sama sekali.

Tuntutan untuk menjadi maskulin dapat menaikkan gejala depresi, terutama jika pria yang mengalaminya jadi urung memeriksakan diri ke tenaga kesehatan profesional.

Ia menambahkan, ketika orang yang tengah berjuang melawan depresi, kecemasan, dan kondisi mental lainnya tidak berpegang dengan jalan bertahan yang sehat, mereka bisa berpaling ke alkohol dan obat-obatan untuk mengurangi kesakitannya.

Lantas, bagaimana cara kita sebagai bagian dari lingkungan dapat mengubah persepsi pria untuk mencari pertolongan sebelum jatuh pada alkohol dan obat-obatan?

Baca Juga: Kualitas Udara Memburuk, Apakah Ada Hubungan Antara Polusi Udara dengan Peningkatan Penyakit Mental?

Menurunkan stigma

Levin menuturkan, mengakhiri stigma bisa membantu pria, dan juga wanita, untuk lebih menerima masalah kesehatan mental yang dialami.

“Tidak ada orang yang kebal pada stres. Bicara dengan orang lain tentang bagaimana stres berpengaruh pada kita bisa memunculkan empati, pertemanan, dan dukungan. Kesemuanya bisa melawan perasaan terisolir yang disebabkan oleh masalah kesehatan mental dan kecanduan,” jelas Levin.

Raymond menambahkan, masalah edukasi juga amat berpengaruh pada menurunnya stigma.

“Kita butuh orang-orang sadar bahwa ini adalah masalah medis, dan ada pengobatan yang tersedia, dan ada harapan untuk sembuh,” tuturnya.

Jika tidak diobati, Raymond menuturkan, masalah kesehatan mental bisa cepat berkembang menjadi masalah fisik, terlebih jika orang yang mengalaminya mencoba mengobati diri sendiri lewat konsumsi alkohol dan obat-obatan.

Baca Juga: Banyak Ditemukan di Indonesia, Ini 7 Manfaat Minyak Sereh, Dapat Bebaskan Racun dari TUbuh hingga Lawan Depresi!

Tanda Waktunya Perlu Memeriksakan Diri

Jika Anda merasa orang tersayang terlihat perlu bantuan terkait kesehatan mental, atau Anda sendiri butuh bantuan, beberapa kondisi bisa menjadi tandanya:

-Perubahan suasana hati (mood)

-Berubahnya kinerja di kantor, sekolah, atau kampus

-Naik/turunnya berat badan

-Merasa sedih, hilang harapan, atau anhedonia (hilang kesenangan dan menarik diri dari kegiatan yang sebelumnya menyenangkan)

-Muncul gejala fisik seperti sakit kepala atau sakit perut

Jika tanda-tanda ini muncul, Levin mengatakan, memeriksakan diri ke dokter atau psikolog adalah tanda kekuatan, bukan kelemahan.

Namun jika rasanya masih ragu dan cemas untuk membuat jadwal bertemu dengan tenaga profesional, kita bisa mencoba layanan bertanya pada tenaga medis kesehatan mental lewat aplikasi gawai yang banyak tersedia di Google Playstore dan App Store, seperti Alodokter dan Halodoc.

Baca Juga: Kisah Anjing-anjing yang Dikurung di Kandang Sempit dan Disiksa untuk Dimasak Hidup-hidup, 200 Anjing Dibantai dalam Sehari di Kamboja

Artikel Terkait