Advertorial

Di Tengah Covid-19 Muncul Wabah Bernama Locust-19,Pandemi Ini Diyakini Bisa Menyebabkan 30 Juta Manusia Alami Hal Mengerikan

Afif Khoirul M
Afif Khoirul M

Penulis

Bagi masyarakat Afrika wabah ini telah menyebar sejak akhir tahun 2019 dan masih berlanjut hingga saat ini.
Bagi masyarakat Afrika wabah ini telah menyebar sejak akhir tahun 2019 dan masih berlanjut hingga saat ini.

Intisari-online.com - Saat ini wabah Covid-19 sudah membuat banyak negara kalang kabut menghadapinya.

Hampir semua negara besar, seperti Amerika, Inggris, Italia, mengalami masalah yang sama dalam menghadapi Covid-19.

Namun, ternyata Covid-19 hanya sebuah masalah kecil, ada sebuah negara di dunia yang dirundung masalah lebih luar biasa dari Covid-19.

Negar-negara yang tepatnya berada di benua Afrika ini justru mengalami musibah yang lebih mengerikan daripada Covid-19.

Baca Juga: Kabar Baik, Selama Ini Ditunggu-tunggu Indonesia Akhirnya Ciptakan Obat Virus Corona, Dan Siap Dibagikan Pada Agustus Mendatang

Melansir Daily Star pada Minggu (17/5/20), sebuah skenario mengerikan yang disebut 'Locust-19', di Afrika Timur tampaknya adalah masalah yang lebih serius dari Covid-19.

Bagi masyarakat Afrika wabah ini telah menyebar sejak akhir tahun 2019 dan masih berlanjut hingga saat ini.

Ironisnya, karena wabah ini hanya dialami oleh negara di benua hitam, nyaris informasinya tidak terekspos oleh dunia, dan sedikit mendapat perhatian.

Menurut laporan wabah ini berasal dari jutaan belalang yang melakukan migrasi dari negara ke negara lain.

Baca Juga: Data China bocor, Kebohongan Tiongkok Soal Jumlah Korban Covid-19 kembali Terbongkar, Inilah Fakta Terbarunya: Ratusan Ribu Lebih Banyak?

Hal ini diperburuk dengan mewabahnya Covid-19 yang juga sudah mulai masuk ke Afrika.

Menurut keterangan, belalang agresif ini merusak tanaman di Somalia, Ethiopia, Kenya, Uganda dan Sudan Selatan pada bulan Januari.

Wabah ini diperkirakan akan menyebabkan 30 juta manusia akan mengalami kelaparan massal di Afrika akibat kekurangan pangan yang dirusak oleh belalang.

Gelombang belalang kedua telah bergerak dan menimbulkan kekacauan antar negara,dampaknya lebih besar daripada Covid-19.

Pandemi ini meningkatkan tekanan keuangan pada negara terdampak, untuk menunda alat medis dan menggantinya dengan impor pestisida dan alat pembasmi belalang.

Sementara pemberlaukan lockdown mengyebabkan, orang-orang terbatas untuk bergerak.

Artinya mereka tidak bisa berbuat lebih untuk mengatasi kawanan belalang yang menyebabkan ancaman penduduk Afrika ini.

Baca Juga: Gegerkan Warga, Sungai di Israel Mendadak Berubah Menjadi Merah Darah Seperti Wabah Darah di Mesir, Terungkap Ternyata dari Sinilah Darah Tersebut Mengalir

Bantuan dari negara tetangga juga sulit masuk karena adanya pembatasan lockdown.

Beberapa pakar internasional, telah menentang larangan perjalanan untuk memberantas wabah Locust-19 yang mewabah di Afrika.

Kondisi cuaca juga berkontribusi terhadap bencana, hujan lebat yang menyebabkan lingkungan sempuran untuk kawanan belalang.

Karena belalang padang pasir hanya bisa bertelur di tempat yang lembab.

Setelah badai tersebut, satu meter persegi bisa menampung setidaknya 1.000 telur.

Gerombolan belalang kedua ini, diperkirakan akan mencapai 20 kali lebih besar dari gerombolan yang muncul awal tahun ini.

Ketika bayi belalang lahir, mereka sudah siap untuk melakukan perjalanan ke daerah-daerah dengan tanaman untuk melakukan pemusnahan.

Baca Juga: Kepala Anjing yang Terputus, Otak Babi, dan Monyet dalam Kandang Sempit: Video Horor Memperlihatkan Pasar Hewan Liar yang Masih Aktif

Setelah berubah menjadi cokelat dengan corak kuning dan hitam, mereka akan bepergian dalam kelompok besar supaya aman dari predator.

Belalang bisa melakukan perjalanan hingga 90 mil dalam satu hari, ini adalah hal menakutkan bagi petani, karena tidak ada peralatan yang cukup untuk memusnakan kawanan ini.

Imbasnya, tanaman akan mati karena diserang belalang dan menyebabkan kekurangan pangan, hingga berujung pada kelaparan massal.

Hama tersebut menyerang pada awal bulan Mei, diangga sebagai waktu terburuk karena petani harus menunda menanam benih.

PBB menyebut situasi ini sangat mengkhawatikan, menyebabkan jutaan orang berakhir dalam kelaparan.

Jika gerombolan itu tidak segera dikendalikan, kemungkinan mereka akan berkembang 400 kali lebih besar, hingga Juni dan menghancurkan panen tahunan.

Artikel Terkait