Aku jongkok di pojok seperti binatang buruan. "Oh, Tuhan, tolonglah aku," aku berdoa. "Tuhan, jangan biarkan ini terjadi pada diriku." Sementara itu si Jepang memandang rendah kepada diriku. Maklum, ia telah membayar mahal untuk malam perdana ini. Makanya ia jengkel dan marah bukan main. Seraya menghunus pedang dari sarung dan mengarahkannya kepadaku, ia mengancamku dan memekik dengan suara serak khas Jepang, "I kill, I kill."
Sekonyong-konyong muncul kekuatan luar biasa memenuhi diriku. Suatu kekuatan yang belum pernah kurasakan. Aku berkata kepada si Jepang, bunuh saja aku. Aku tak takut mati. Lagilagi ia mengarahkan pedangnya ke tubuhku. Aku memohon kepadanya membiarkan aku berdoa sebelum aku dibunuhnya.
Aku berlutut untuk berdoa dengan ujung pedang menempel di kulitku. Kukira pada saat itu aku lebih mencintai Tuhan daripada yang sudah-sudah. "Ya Tuhanku, aku mencintai-Mu. Tetaplah dekat denganku." Sementara itu, si Jepang habis kesabarannya. Ia membantingku di atas ranjang dan merenggut pakaianku. Aku telanjang terbaring di ranjang. Ujung pedangnya menelusuri seluruh tubuh, ke atas dan ke bawah. Turun naik terus-menerus. Aku dapat merasakan baja dingin itu di kulit, selagi pedang itu melalui tenggorokan, dada, perut, dan kaki.
Ia memperlakukanku seperti kucing mempermainkan tikus tak berdaya. Permainan itu berlangsung beberapa lama. Kemudian ia melepas pakaian. Aku menyadari bahwa ia tidak berniat membunuhku. Ia menindihku dan mulai menekanku dengan tubuhnya yang berat. Aku mencoba melawan. Kutendang, kucakar dia. Tapi ia terlalu kuat. Wajahku digenangi air mata, sementara ia memperkosa diriku.
Aku tak dapat menemukan kata-kata untuk melukiskan perkosaan yang kejam dan biadab ini. Seluruh tubuhku menggigil ketika akhirnya keluar dari kamar. Aku menyambar sisa-sisa pakaianku dan lari ke kamar mandi. Aku ingin mencuci segala kotoran, kejengahan, dan rasa sakit tubuhku.
Di kamar mandi aku berjumpa dengan beberapa gadis lain. Kami semua menangis. Tidak tahu apa yang harus kami lakukan. Kami membersihkan dan mencuci diri seolah-olah kami dapat membersihkan segala yang telah menimpa diri kami. Aku tidak berani kembali ke kamar makan atau kamar tidur. Aku memutuskan bersembunyi di kamar serambi belakang, sementara jantungku terus berdebar.
"Ya Tuhan, jangan sampai ada orang yang menemukanku," doaku. Seluruh tubuhku menggigil ketakutan. "Aku tak tahan menderitanya sekali lagi," pikirku.
Tetapi sebentar kemudian terdengar suara-suara marah dan derap kaki mendekat. Aku diseret ke luar dari tempat persembunyianku. Malam itu belum selesai. Masih ada Jepang-Jepang lain lagi menanti giliran. Kejadian mengerikan itu dimulai lagi dari permulaan. Tak pernah terbayangkan betapa penderitaan ini begitu dahsyat. Bagaimana aku dapat mengatasi hari-hari dan bahkan bulan-bulan berikutnya?
Pada akhir malam perdana yang mengerikan, dalam jam-jam pertama di malam itu, 7 orang gadis ketakutan merangkak saling berdekapan. Mereka kelelahan, menangisi keperawanan mereka yang telah hilang.
Pemimpin doa
Siang hari kami merasa agak aman, walau rumah itu selalu penuh dengan orang Jepang. Mereka datang dan pergi. Mengamati kami dari kepala hingga ujung kaki. Kami sangat takut menghadapi malam yang akan tiba. Begitu mulai gelap, rumah itu pun segera "dibuka". Tubuh kami pun habis ditelan kecemasan mengerikan. Setiap malam aku mencoba bersembunyi di lain tempat. Tapi aku selalu ditemukan. Akhirnya, tempat-tempat persembunyianku pun segera habis. Aku bahkan pernah memanjat pohon. Tapi mereka menemukanku juga. Aku diseret ke kamar tidurku, setelah dicaci maki habis-habisan. Tapi tiap menit, tiap detik, upaya itu membantu menunda dimulainya malam yang mengerikan itu.
Agar tampak tak menarik sama sekali, aku mencukur rambut dengan gunting di laci toilet. Aku memandangi diriku yang begitu buruk di cermin. "Sekarang pasti tak ada yang menginginkan diriku," demikian pikirku. Namun kemudian tersiar kabar, salah seorang wanita mencukur gundul dirinya. Aku malah jadi tontonan.
Penulis | : | Intisari Online |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR