Februari 1944, genap 2 tahun kami menghuni kamp Jepang. Siang itu terjadi kegaduhan. Truk militer Jepang datang. Penjaga pun ribut-ribut seperti biasanya kalau kedatangan pembesar militer Jepang yang mau inspeksi, atau untuk mengeluarkan perintah dan peraturan baru.
Namun tampaknya kali ini lain. Kami tidak diharuskan apel seperti biasanya. Namun semua gadis yang belum menikah dan berumur 17 tahun diperintahkan berbaris. Kami tidak menyukai perintah itu, dan mulai curiga.
"Kamu termasuk di dalamnya, Jantje," kata ibuku. Terdengar suaranya bergetar, terlihat kecemasan di matanya. Aku mencoba membuat diriku seburuk mungkin dengan membiarkan rambut menggerai di depan wajah. Seluruh kamp diliputi suasana cemas. Kami diperintahkan berbaris memanjang. Betapa gemetar dan ketakutannya kami ketika beberapa opsir Jepang datang. Pandangan tentara Jepang seakan mau menelan kami dari kepala ke ujung jari kaki. Mereka saling tertawa dan menunjuk kepada kami. Tentara Jepang itu berjalan kian kemari di sepanjang barisan. Kadang dagu kami diangkat naik dengan sebuah tongkat, supaya mereka dapat memandang wajah kami.
"Oh, Tuhan," doaku, "jangan biarkan mereka membawaku." Setelah berbincang-bincang beberapa lama, tentara itu menyuruh setengah barisan pergi. Aku masih tetap berdiri dalam barisan panjang. Mulailah mereka meraba-raba dan menuding. Oh, betapa aku ingin berwajah buruk atau sama sekali tidak menarik.
Ada beberapa gadis dihardik dan disuruh pergi tapi aku tidak. Kami yang tetap dalam barisan, otomatis saling berpegangan tangan. Seluruh tubuhku kaku karena cemas dan takut. Jelas, ini bukanlah inspeksi biasa, atau seleksi untuk sebuah regu kerja. Kami berdiri di sana tak bergerak. Rasanya lama dan berjamjam. Proses seleksi ini diulangi lagi untuk terakhir kali. Salah seorang opsir memerintahkan 10 gadis maju. Sisanya boleh kembali menemui ibu mereka. Aku termasuk dalam kelompok 10 itu.
Melalui seorang juru bahasa, kami mendapat perintah untuk membawa barang-barang dalam tas kecil. Setelah itu langsung melapor ke kantor kamp. Di situ telah menunggu sebuah mobil tentara untuk mengangkut kami.
Seluruh penghuni kamp mengajukan protes sekuat tenaga. Hiruk pikuk penuh teriakan, tangis, dan protes. Tapi sia-sia. Hak asasi kami direnggut. Kebebasan kami hilang. Kami bagaikan domba-domba yang hendak disembelih. Remuk dan tak berdaya. Penjaga kamp hanya melongo saja ketika kami mengemasi barang-barang. Aku memasukkan pula kitab suci, salib, serta rosario. Tampaknya pada saat itu benda-benda inilah yang paling penting. Seakan-akan merupakan senjata yang memberiku rasa aman dan kekuatan.
Saat untuk berpisah tiba. Kedua adikku menangis, sementara ibu dan aku tak dapat mengeluarkan sepatah kata pun, kecuali saling menatap dan mendekap erat. Akan dibawa ke mana aku? Apakah kami akan saling bertemu lagi?
Sambil menangis kami didorong masuk ke dalam truk. Kelompok kami masih ditambah 6 gadis lagi. Seluruhnya berjumlah 16 orang dari Kamp Ambarawa. Kami berjongkok seperti binatang ketakutan. Tak ada gambaran akan diangkut ke mana.
Aku mulai sadar, truk melalui jalan besar dari Ambarawa ke Semarang. Aku sering melalui jalan itu dengan seluruh keluarga untuk berlibur di tempat kakek. Tiba-tiba truk itu direm dan membelok masuk jalan menuju rumah besar. Tujuh gadis termasuk aku diperintahkan turun.
Bordil para perawan
Dengan perasaan tak keruan kami digiring masuk ke rumah pimpinan perwira Jepang. Aku mulai curiga. Tiap gadis memperoleh kamar tidur masing-masing yang telah ditentukan. Rumah bekas milik warga Belanda itu disebut orang Jepang "Wisma Tujuh Lautan".
Penulis | : | Intisari Online |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR