Dengan berjalannya waktu, kami semakin sering membicarakan keadaan kami, serta bagaimana kami menghadapinya sebaik- baiknya. Kami berbagi kecemasan, sakit, dan hinaan-hinaan. Kami saling memerlukan dukungan. Terjalinlah ikatan cinta dan persabahatan di antara kami. Gadis-gadis itu mencari kekuatan rohani pada diriku. Setiap hari aku memimpin doa.
Di samping itu dengan berbagai permainan kartu kami dapat menunda saat perkosasan yang tak terhindarkan itu. Setiap menit, setiap setengah jam yang dapat menunda perkosaan, amatlah penting bagiku. Sebab begitu seorang Jepang selesai, yang lain telah menunggu. Tak pernah ada seorang Jepang yang memperkosaku tanpa didahului dengan pergumulan dan pergulatan sengit.
Aku kerap kali diancam dengan pembunuhan. Maklum, dalam pergumulan itu aku benar-benar menghantam, menjotos, menendang, atau mencakar, bahkan melukai mereka. Maka aku diperingatkan supaya menghentikan pergulatan itu. Jika tidak, aku akan dipindahkan ke bordil para prajurit di kota, sebuah bordil dengan gadis-gadis pribumi. Di sana keadaannya jauh lebih buruk. Untung, ancaman itu tidak pernah dilaksanakan.
Pada suatu hari datang seorang dokter militer Jepang. Aku langsung berpikir ia mungkin dapat menolong kami. Aku lalu berbicara dengannya, menjelaskan keberadaan kami. Dengan kedua belah tangan terjalin di belakang kepala, dokter itu hanya memandangku dari kepala hingga kaki. Ia sama sekali tak memperlihatkan rasa belas kasihan ataupun permohonan maaf. Tetapi paling sedikit aku telah berusaha.
Tiba-tiba dokter itu berdiri dengan mendadak dan menghampiriku. Ia mencoba menangkapku. Tapi aku lebih cepat. Aku lari ke,luar kamar dan masuk kebun untuk sembunyi. Aku lari masuk ke kandang ayam. Kandang itu agak rendah dan kecil, sedangkan Jepang itu besar dan gemuk. Beberapa saat kemudian sebuah tubuh gemuk, terengah-engah mencoba memperkecil diri masuk ke kandang. Keseluruhan ini dibarengi dengan tertawa terbahak-bahak para penonton. Seperti biasanya akulah yang kalah. Pada hari pertama kunjungan dokter itu, aku diperkosanya dengan kejam.
Pada suatu pagi kami diberi tahu bahwa kami harus memeriksakan diri kepada dokter. Dalam setiap pemeriksaan, tiap gadis ditemani gadis lain untuk saling menguatkan. Aku merasa sepenuhnya terhina atas pemeriksaan tersebut. Di dalam kamar periksa dokter itu tak ada pintu. Penghinaan itu makin diperberat, karena adanya beberapa orang Jepang lain yang menonton. Mereka masuk ke dalam kamar atau berdiri di ambang pintu luar, sambil menonton kami sementara diperiksa.
Sempat hamil
Selama tahun-tahun pendudukan Jepang aku hanya menjumpai satu orang Jepang yang mengenal sopan santun. Berkat dialah aku dapat bemapas istirahat selama beberapa minggu. Kisahnya begini. Kebetulan kakak perempuanku yang tertua tinggal dan bekerja di Semarang. la tidak diinternir Jepang, karena menduduki jabatan penting pada NIS (Nederlands-Indische Spoorwegen = Jawatan Kereta Api Hindia Belanda). Rupanya Jepang menghargai jasa kakak, seperti juga beberapa orang Eropa lainnya yang jasanya diperlukan - juga tak diinternir.
Pada suatu hari aku minta kepada pembantu lelaki, agar menolong mengantarkan surat kepada kakak perempuanku di kota. la mengatakan sanggup mengantar surat itu, karena ia iba dengan "noni Belanda" dan ingin menolongku.
Kakakku sangat terkejut membaca berita dan mengetahui penganiayaan yang menimpa diriku. Bagaimana ia bisa menolongku? Ia lalu menghubungi seorang Jepang bernama Yodi - juga pegawai NIS. Yodi mendengarkan kisah perihalku. Ia sangat terharu dan bersedia menolongku.
Rencananya Yodi akan mengunjungi bordil, dan akan "menebusku" selama semalam, sehingga aku tidak dapat diperkosa oleh satu orang Jepang pun. Dengan perantaraan kurir tadi, aku memperoleh surat dari kakak perempuanku. Aku menangis kegirangan ketika melihat tulisan tangan kakakku. Ia begitu dekat namun juga begitu jauh. Dalam surat itu kakakku memberi tahu bahwa aku boleh mengharapkan kunjungan Yodi.
Malam itu aku mendapatkan kunjungan dari seorang Jepang yang tampaknya menyenangkan. Aku tahu itu Yodi, pria Jepang yang mau menolongku. Yodi merasa malu serta meminta maaf atas apa yang telah dilakukan bangsanya. la agak malu ketika memberi tahu aku tak perlu takut, sebab ia telah membeli karcis untuk semalam suntuk. Di dalam kami hanya berbicang-bincang dan main kartu. Aku bersyukur, aku malam itu dapat tidur dengan tenang.
Seminggu penuh Yodi datang tiap malam di rumah itu untuk melindungiku. Waktu singkat kunjungan itu benar-benar merupakan waktu istirahat bagiku. Tetapi sudah barang tentu tak dapat terus berlangsung demikian. Yodi bercerita kepadaku bahwa ia digoda oleh orang-orang Jepang lain dan ditertawakan. Sebab malam itu ia berkunjung ke rumah tersebut dan tinggal di sana semalam suntuk. Itu pasti terasa berat, apalagi ia tak pernah menyentuhku.
Dua minggu kemudian aku menerima surat dari kakakku bahwa Yodi telah berangkat dari Semarang. Jadi, ia tidak datang lagi. Walaupun selalu berterima kasih kepadanya sesudah ia melindungiku beberapa malam, aku tak sempat mengucapkan "selamat jalan" kepadanya. Sekali lagi aku berterima kasih.
Selama bulan-bulan berikutnya, kami semua menjadi kurus. Kami hampir-hampir tak menyentuh makanan, karena terlalu lelah. Selain mengatasi diri masing-masing, kami mencoba memelihara kekuatan dan harapan. Aku sungguh-sungguh merindukan ibu dan kedua adikku. Kesehatan ibu buruk. Ia sangat lemah ketika kutinggalkan. Aku khawatir, jangan-jangan ibu meninggal. Bagaimana kedua adikku?
Suatu saat, aku gelisah. Aku hamil? Aku benar-benar cemas. Bagaimana aku dapat melahirkan dan mencintai anak yang tercipta dengan ruda paksa? Secara kejiwaan aku hampir tak tahan menderita keadaan itu. Seperti sediakala aku menyerahkan hidupku ke tangan Tuhan. Teman-teman di bordil itu menganjurkan aku untuk mengatakan kepada wanita pengawas bordil ini, bahwa aku hamil. Mungkin masih ada kemungkinan mereka mengirimku kembali ke kamp.
Tapi apa hasilnya? la datang membawakanku botol berisi pil yang harus kutelan segenggam demi segenggam. Aku sama sekali tak tahu pil apa itu. Ternyata untuk menggugurkan kandungan. Aku menolak menelan pil tersebut. Aku tak dapat membunuh janin. Itu dosa besar. Aku tetap menolak menelan pil tersebut. Akhirnya, mereka dengan paksa mendorongnya masuk ke kerongkonganku. Tak lama kemudian aku keguguran. Lagi-lagi sebuah trauma yang harus kualami.
Kembali ke "Kamp WTS"
Aku tak tahu persis, berapa lama kami berada di bordil di Semarang itu. Tetapi paling sedikit tiga bulan. Tiba-tiba keluar perintah, kami harus berangkat. Tanpa alasan. Kami juga tidak tahu mau dibawa ke mana. Kami semua sangat takut. Apakah keadaan kami akan lebih buruk lagi? Mereka merencanakan apa pada kami?
Lagi-lagi kami diangkut dengan truk tentara. Kali ini untuk mengadakan perjalanan naik kereta api selama dua hari. Sejak berangkat dari Semarang, jendela kereta ditutup hingga kami tak dapat melihat apa-apa. Perjalanan itu sungguh melelahkan. Akhirnya, kami tiba di Kamp Bogor, Jawa Barat.
Kami diancam dan dilarang menceritakan kepada siapa pun apa yang telah terjadi. Kamp di Bogor merupakan kamp peralihan. Kamp itu terdiri atas beberapa rumah yang dulu dihuni orang-orang Belanda. Seluruhnya dipagari dan digunakan sebagai kamp. Di situ kami dipersatukan kembali dengan wanita Belanda lainnya yang dipaksa dikeluarkan dari kamp, setelah mengalami nasib serupa kami.
Kami dipersatukan dengan keluarga masing-masing. Itulah saat paling menggembirakan, bertemu kembali dengan ibu dan kedua adikku. Malam pertama di Bogor, kami berkumpul berdekatan berbaring sebelah-menyebelah di dalam gelap. Aku belum sempat menceritakan kepada ibu apa yang telah terjadi pada diriku. Rasanya aku juga tak perlu menceritakannya. Malam itu dalam gelap ia berkali-kali mengusap kepalaku yang gundul. Lembut, penuh sayang, dan pengertian. Jari-jarinya mengusap-usap kepalaku hingga aku tertidur.
Setelah tinggal sebentar di Bogor kami dipindahkan lagi ke kamp lain. Kali ini kami dibawa ke kamp besar bagi tawanan wanita di Kramat, Jakarta. Ketika tiba di sana, kami harus tinggal di dalam kamp tersendiri. Jadi, dalam kenyataan kamp itu merupakan kamp di dalam kamp. Perwira Jepang takut, jangan-jangan tersebarlah berita-berita angin, lalu terungkap apa yang telah mereka lakukan terhadap diri kami.
Cobaan kami belum juga selesai. Wanita dari Kamp Kramat bagian lain diperintahkan untuk tidak berhubungan dengan kami. Namun tersebar juga desas-desus. Dengan kejam mereka menamakan kamp kami "Kamp WTS". Mereka mengira kami ini sukarela bekerja di bordil-bordil Jepang. Mereka mengira kami mendapatkan perlakuan istimewa dan makanan khusus. Padahal kami sama-sama kelaparan.
Keadaan kamp ini lebih buruk daripada yang sudah-sudah. Tembok-tembok basah. Tikus dan kelaparan di mana-mana. Apel pertama di kamp dan kami patuh berbaris dan melakukan upacara membungkuk memberi hormat. Tiba-tiba komandan kamp datang menghampiriku. Ia menarik diriku dari barisan dan merenggut kain dari kepalaku dengan marah karena ingin tahu. Di sanalah aku berdiri dengan kepala gundul. Sebuah objek penghinaan.
Sementara itu kesehatan ibuku semakin memburuk. Ia menderita radang paru-paru karena tidur di ruangan lembap. Ibuku dibawa ke rumah sakit darurat untuk dirawat. la mengigau terus dan hanya mengenali diriku. la hanya makan apa yang kusuapkan kepadanya. Untung, ibu selamat.
Pada tanggal 6 Agustus 1945, Hiroshima dibom. Perang di Jawa berakhir pada tanggal 15 Agustus. Ketika itu terbanglah pesawat melintasi kamp. Kali ini bukan pesawat terbang Jepang. Itu pesawat Sekutu! Mereka menjatuhkan makanan dan obat-obatan termasuk penisilin yang baru saja ditemukan. Penisilin itu menyelamatkan nyawa ibuku.
Tuhan sangat baik bagi umat-Nya. Seluruh keluarga kami dapat hidup selamat melewati PD II. Termasuk ayahku yang ditangkap oleh Jepang di Sumatra. Pada tahun 1946 kami semua dipersatukan kembali di Belanda. Demikian pula abang tertuaku, yang tertangkap Jerman di Eropa. (Agus Surono/9 Kisah Nyata)
Penulis | : | Intisari Online |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR