Advertorial

Jika Tak Segera Ambil Tindakan Drastis, Separuh Penduduk Indonesia Berpotensi Terinfeksi Covid-19 Sebelum Lebaran, Simak Selengkapnya

Muflika Nur Fuaddah
Muflika Nur Fuaddah

Editor

Estimasi jumlah kasus covid-19
Estimasi jumlah kasus covid-19

Intisari-Online.com - Sejumlah model matematis menunjukkan peluang meledaknya pandemi Covid-19 secara tak terkendali di Indonesia.

Itu bisa terjadi jika langkah strategis dan drastis tidak segera diambil pemerintah untuk memperlambat penyebaran virus korona jenis baru.

Berdasarkan model yang dijalankan pakar matematika terapan University of Essex Inggris dan Khalifa University of Science and Technology Uni Arab Emirat, Hadi Susanto, penyebaran Covid-19 sungguh masif sehingga diperkirakan 50 persen total populasi Indonesia sudah akan terinfeksi wabah Covid-19 sebelum Idul Fitri pada pertengahan Mei 2020.

Dalam kalkulasinya, Hadi menggunakan model matematis susceptible, exposed, infectious, recovered (SEIR) dan angka tingkat reproduksi atau R0 dari Covid-19 sebesar 3.

Baca Juga: Ini 8 Manfaat Buah Peach untuk Kesehatan dari Lindungi Kesehatan Mata Hingga Cegah Kanker

Angka reproduksi atau tingkat penularan wabah disebut sebagai angka R0.

Apabila R0 dari sebuah penyakit adalah 3, berarti 1 orang yang terinfeksi dapat menularkan ke 3 orang sehat.

R0 dari Covid-19 dipercaya oleh berbagai peneliti sebesar 2-3.

Artinya, satu orang positif Covid-19 dapat menularkan kepada 2-3 orang lainnya.

Baca Juga: Tegas Menangkal Covid-19, Pemerintah Singapura Berlakukan Denda Rp 115 Juta hingga Penjara Bagi Warganya yang Bandel Duduk dan Berdiri Berdekatan di Tempat Umum

”Saat ini, kerumunan sudah mulai berkurang, tetapi saya lihat belum signifikan sehingga perhitungan saya masih saya pegang bahwa 50 persen populasi Indonesia berpeluang besar terinfeksi Covid-19 sebelum Idul Fitri,” ujar Hadi dari Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, kepada Kompas, Jumat (27/3/2020).

Prediksi Hadi tersebut dapat terjadi dengan dua butir asumsi.

Pertama, masyarakat tidak mengubah perilakunya untuk segera melakukan pembatasan fisik (physical distancing).

Kedua, tidak ada pembatasan akses wilayah.

Baca Juga: Tidak Hanya yang Matangnya Saja, Ini Manfaat Buah Mangga Mentah dan 5 Cara Unik Menyajikannya, Mau Coba?

”Dengan asumsi itu, puncak (penyebaran Covid-19) terjadi di sekitar awal Ramadhan,” kata Hadi.

Bulan puasa Ramadhan diperkirakan akan berlangsung mulai 23 April hingga 23 Mei 2020.

Bahkan, menurut Hadi, jika wilayah Jakarta yang kini menjadi episentrum pandemi tetap bisa dimasuki secara bebas, sangat mungkin jumlah orang yang terinfeksi mencapai 80 persen.

Untuk itu, menurut Hadi, akses keluar-masuk kota perlu mendapat perhatian lebih. Apabila akses dibatasi—contohnya melalui karantina wilayah—transmisi virus antarwilayah di Indonesia akan lebih terminimalisasi.

Baca Juga: 1.387 Orang Positif Corona dan 47 Meninggal di Jepang, PM Shinzo Abe: Pemerintah Sebisa Mungkin Tak Melakukan Lockdown, Apa Alasannya?

Ini perlu dilakukan agar tidak menambah jumlah populasi yang berpeluang terinfeksi.

”Idealnya seperti itu,” ujar Hadi.

Puluhan ribu tak terdeteksi

Sementara itu, hasil pemodelan yang dilakukan oleh Centre for Mathematical Modelling of Infectious Diseases (CMMID) University of London menduga ada berkisar 70.000-250.000 kasus Covid-19 di Indonesia yang belum terdeteksi.

Baca Juga: Bagaimana Cara Berhenti Mengemil Sepanjang Hari Selama Social Distancing 21 Hari Ini? Ini yang Bisa Anda Lakukan!

Rentang jumlah tersebut bergantung pada asumsi angka R0 yang digunakan.

Associate Professor CMMID Stefan Flasche mengatakan, di fase awal penyebaran Covid-19, seperti di Indonesia, jumlah kasus positif akan berlipat ganda setiap pekan.

”Hal ini akan terus terjadi kecuali ada langkah besar yang dilakukan untuk mengurangi kecepatan penyebaran ini.

Contohnya melalui social distancing,” kata Flasche kepada ABC.

Baca Juga: Kabar Baik dari Artis Detri Warmanto, Rapid Testnya Tunjukkan Hasil Negatif, Tapi Akan Lakukan Tes Lagi, Ini Penjelasan Ahli Soal Keakuratan Tes Cepat

Bahkan, menurut Flasche, skenario terburuknya adalah jumlah kasus positif di Indonesia berpeluang mencapai 1 juta kasus pada akhir April.

Baca Juga: Meski Social Distancing Selama Wabah Virus Corona Anda Masih Bisa Berlari di Luar Kok, Tapi Ada Syarat yang Harus Anda Lakukan, Ini Dia!

Solusi unik

Pakar epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Syahrizal Syarif, mengatakan, kondisi Indonesia saat ini terlalu kompleks untuk hanya berdiskusi pilihan antara karantina wilayah atau tidak.

Dengan jumlah populasi dan wilayah geografis yang jauh lebih besar, Indonesia tidak bisa serta-merta mengambil model kebijakan yang dilakukan oleh Korea Selatan.

Korea Selatan dikenal sebagai negara yang berhasil mengatasi wabah Covid-19 tanpa memberlakukan karantina wilayah atau lockdown.

Baca Juga: Perbatasan Dijaga Ketat, Gelang Karet Digunakan sebagai Penanda Para Pemudik yang Datang ke Purbalingga setelah 5 Warganya Positif Corona Pulang dari Luar Kota

Opsi lockdown juga tidak bisa serta-merta mengadopsi yang dilakukan di Wuhan, China.

Syahrizal mengatakan, Indonesia tidak memiliki sumber daya dan kemampuan untuk mengerahkan ribuan tenaga medis khusus untuk wilayah yang dikarantina seperti yang dilakukan Pemerintah China.

Pada awal Februari lalu, Pemerintah China menurunkan 1.400 dokter, perawat, dan tenaga medis lainnya ke Wuhan.

Seharusnya, menurut Syahrizal, Tim Pakar Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 bisa merancang kebijakan yang unik, yang sesuai dengan karakteristik Indonesia.

Baca Juga: Balita Berusia 5 Tahun Ditemukan Tinggal Bersama Jenazah Ibunya yang Positif COVID-19: 'Dia Tidak Bekerja di Daerah yang Merawat Psiean Virus Corona'

”Pendekatannya itu tidak bisa sama dengan Korsel misalnya. Harus unik dan sesuai dengan kondisi kita,” kata Syahrizal.

Berdayakan daerah

Dengan demikian, menurut Syahrizal, penanganan Covid-19 harus mendayagunakan infrastruktur pemerintahan yang dapat menjangkau langsung masyarakat di daerah.

Model pelaksanaan kebijakan yang terpusat selama ini tidak akan bisa bergerak cepat.

Pemerintah cukup membuat protokol kebijakan yang jelas beserta indikator kinerjanya (key performance indikator).

Dengan demikian, para wali kota dan bupati bisa bergerak secara terkoordinasi dan seragam, tetapi tetap sesuai dengan karakteristik daerahnya.

”Bagaimana membuat arahan indikator keberhasilan dan langkah-langkah operasional dan strategisnya itu ditentukan (pemerintah) pusat,” kata Syahrizal.

Baca Juga: Penurunan Kegiatan Ekonomi Membuat Orang-orang Nekat Mudik Lebih Awal, Kemenhub Imbau Pemerintah Daerah Lakukan Upaya-upaya Ini

Kemudian, untuk secara detail di masyarakatnya, struktur desa sudah harus dilibatkan dalam protokol tersebut. ”Kita, kan, sudah punya desa dan strukturnya. Nah, manfaatkan struktur yang sudah ada ini, manfaatkan kemampuan desa,” kata Syahrizal.

Menurut Syahrizal, alih-alih merancang langkah-langkah intervensi di tataran praktik, pemerintah pusat harus lebih berfokus pada hal yang lebih holistik seperti penyediaan logistik medis dan pengelolaan sumber daya tenaga kesehatan.

Artikel ini pernah tayang di Bebas.kompas.id oleh Sario PangarsoWisanggeni dengan judul "Tanpa Tindakan Drastis, Separuh Penduduk Indonesia Berpotensi Terinfeksi Covid-19 Sebelum Lebaran"

Artikel Terkait