Advertorial

Kesaksian Mantan Pilot Drone yang Mengungkap Kekejaman Program Militer AS, Anggap Anak Afghanistan Bagai Anjing untuk Dibunuhi

Muflika Nur Fuaddah
Muflika Nur Fuaddah

Editor

Mantan pilot atau operator drone militer AS, Brandon Bryant (34), membuat pengakuan pribadi terkait pengalamannya selama 7 tahun bertugas.
Mantan pilot atau operator drone militer AS, Brandon Bryant (34), membuat pengakuan pribadi terkait pengalamannya selama 7 tahun bertugas.

Intisari-Online.com - Mantan pilot atau operator drone militer AS, Brandon Bryant (34), membuat pengakuan pribadi terkait pengalamannya selama 7 tahun bertugas.

Pilot drone tersebut merasa dirinya jadi pembunuh ketika melepaskan rudal-rudal Hellfire dari pesawat nirawak yang diterbangkannya di Afghanistan dari jarak jauh.

Ia berada di pusat kendali drone militer di Las Vegas, sementara target-target yang dibomnya beribu-ribu mil jauhnya dari daratan Amerika.

Brandon Bryant menyebut militer negaranya lebih buruk ketimbang Nazi.

Baca Juga: Tercium Bau Daging Goreng dan Darah Berceceran, Pasangan Kejam Ini Tertangkap Basah Telah Pukuli Anjing yang Diadopsi hingga Mati, Bahkan Memasak dan Memakan Dagingnya

Pengakuannya itu dikutip situs berita Daily Mail, Sabtu (8/2/2020) WIB.

Selama tujuh tahun jadi pilot drone militer AU AS, skuadronnya membom 1.626 target.

Ia kini jadi peniup peluit (whistleblower) apa yang ia sebut kejahatan militer itu kepada PBB.

Brandon juga menyebut, ketika ia membom target yang ternyata anak-anak di Afghanistan, atasannya menukas yang dibom itu hanya anjing.

Baca Juga: Meninggal di Gendongan Sang Ayah, Bayi Berusia 1 Hari Ini Membuat Dokter Terkejut karena Mampu Bertahan Lama, padahal Kondisinya Sangat Memprihatinkan

Pria asal Missoula, Montana ini selama tujuh tahun menerbangkan Predator, drone yang memiliki spesifikasi tugas tempur.

Pesawat itu dilengkapi rudal pembunuh Hellfire.

Selain di pusat kendali Las Vegas, ia juga pernah ditugaskan di New Mexico dan Irak.

Brandon mengundurkan diri dari dinas militer AS setelah insiden pengeboman anak-anak di Afghanistan.

Baca Juga: Negara yang Pernah Kaya Ini Akhirnya Sengsara karena Rakyatnya Hobi Foya-foya, Padahal Sempat Pakai Dolar untuk Tisu Toilet

Ia pun mengungkapkan hal ihwal program drone AS.

Brandon terakhir berpangkat Staff Sergeant di dinas kemiliteran.

Brandon mengalami “post traumatic stress disorder”, tekanan psikologis yang dialami banyak tentara AS setelah menjalani tugas-tugas tempur di berbagai front jauh dari tanah airnya.

Pria berkepala plontos itu masuk dinas militer pada usia 19 tahun, dan pertama kali “membunuh” target pada 2007 menggunakan drone.

Baca Juga: Ingin Bersihkan Paru-paru Perokok? Minum Saja Ramuan Rahasia Ini, Dijamin Ampuh Hilangkan Nikotin dalam Sekejap!

Sejak 2006 hingga 2011, skuadronnya telah menjalankan 1.626 misi pengeboman, di antaranya menghantam sasaran anak-anak dan perempuan.

Kepada media Inggris The Sun, Brandon menyebut seingat dirinya ia telah 13 kali melakukan misi pembunuhan.

Peristiwa paling traumatik terjadi ketika timnya melakukan misi pengeboman target di sebuah jalan Afghanistan.

Ada tiga sasaran laki-laki terlihat lewat kamera pengintai drone Predator.

Baca Juga: Viral Wanita Antar Suaminya Menikah Lagi: Ternyata Wanita yang Alami Poligami Sering Menderita Emosi Negatif

Temannya spontan berteriak. “Guyur,” kata Brandon.

"Bryant meledakkan (buah) cherry,” kata Brandon menyebut reaksi teman satunya lagi.

Tapi di benaknya, yang muncul adalah horror.

Ia melihat darah tertumpah dari tubuh korbannya, sebelum jasad itu terlihat membeku dilihat dari kamera thermal di dronenya.

Baca Juga: Sempat Menyita Perhatian Karena Dulu Tak Diakui Anak Kandung Oleh Mario Teguh, Nasib Ario Kiswinar Kini Berubah Total! Jadi CEO

“Aku melihat darah muncrat dari kakinya, dan kemudian aku lihat tubuhnya langsung dingin. Gambar di layar (kamera) itu tertanam di pikiranku, dan benar-benar menyakitiku,” katanya.

“Saat aku menarik pelatuk, aku tahu itu salah. Saat rudal menghantam (sasaran), hatiku berkata, aku sudah jadi pembunuh,” lanjut Brandon Bryant kepada The Sun.

Pengalaman paling mengerikan yang menancap di benak Brandon ketika ia menerbangkan drone dan mengincar sasaran sebuah bangunan di Afghanistan.

Misinya melenyapkan musuh, sesuai informasi intelijen.

Di detik terakhir saat ia memencet tombol pelepas rudal, ia melihat seorang bocah lari keluar bangunan.

Selain memberi kesaksian kepada PBB, Brandon Bryant juga mengungkap kisahnya di Jerman.

Baca Juga: Kasus Pria yang Cekik hingga Ancam Seorang Polisi: Ini Hukuman Bagi yang Memukul Poiisi Saat Bertugas

Ia memberitahu anggota parlemen di sana terkait program drone AS.

Pada Mei 2016, pembuat film dokumenter asal Norwegia, Tonje Hessen Schei, membawa kisah Brandon ini lewat program film “Drone – This is No Game”.

Setelah membuka keburukan program drone militer AS, Bryant mengaku keluarganya diancam.

Rumah ibunya didatangi dua pejabat AU AS.

Para perwira itu mengatakan ke ibunya, ia jadi target serangan ISIS.

Menurut kuasa hukum Bryant, ini contoh intimidasi kepada para peniup peluit kasus.

Baik Daily Mail maupun The Sun yang menuliskan kisah Brandon Bryant ini, belum menyertakan tanggapan atau reaksi dari Pentagon, CIA, maupun pemerintah AS.(Tribunjogja.com/xna)

Artikel ini telah tayang di Tribunjogja.com dengan judul Brandon Bryant, Bekas Pilot Predator, Ungkap Keburukan Program Drone Amerika

Artikel Terkait