Delapan teko teh
Bagian depan kantor Kapiten warga Tionghoa di Batavia ini seringkali menjadi tempat berteduh pedagang keliling dan orang-orang yang kelelahan di jalan karena hawa panas Batavia.
Saat itu sulit sekali bagi mereka mendapatkan air untuk minum.
Melihat hal ini, istri Gan Djie—yang kemudian dipanggil Nyai Gan Djie—pun mengusulkan pada suaminya untuk menyediakan air teh.
Di depan kantor kemudian dipasang meja-meja kecil yang setiap pagi dan sore hari tersedia delapan teko teh.
Delapan teko ini yang kemudian menjadi asal nama Patekoan, daerah yang kini berada di sekitar Jalan Perniagaan Raya, Glodok.
Pada tahun 1666, Gan Djie wafat dalam tahun ketiganya sebagai kapiten Tionghoa.
Karena sulit mencari pengganti sebaik dirinya, pemerintah Batavia kemudia menunjuk Nyai Gan Djie sebagai penerus jabatan suaminya.
David Kwa menceritakan, banyak urusan rumah tangga warga Tionghoa diselesaikan dengan damai oleh wanita ini.
Selama 12 tahun Nyai Gan Djie memangku jabatannya hingga pada tahun 1678 mengundurkan diri karena merasa sudah tua.
Baca Juga: Tradisi Potong Mata Oleh Tukang Cukur di Cina Menggunakan Silet
Simbol kebaikan
Kisah delapan teko dan rumah Gan Djie sendiri sebenarnya tidak persis terletak di Jalan Perniagaan kini, melainkan di Jalan Perniagaan Raya.
Kebaikan Gan Djie dan istrinya kemudian dituangkan dalam program teh gratis yang disediakan Pantjoran Tea House di terasnya.
Rumah teh ini terletak di muka jalan Pancoran dan pinggir jalan Pintu Besar Selatan, berseberangan dengan Pasar Glodok.
Pantjoran Tea House sendiri didirikan di bangunan eks Apotheek Chung Hwa, apotek bersejarah yang beroperasi pada 1928-1957.
Revitalisasi dan pelestarian bangunan eks Apotheek Chung Hwa diharap juga mampu melestarikan semangat Gan Djie dan istrinya untuk terus berbuat kebaikan, sesederhana satu tegukan teh.
Source | : | Majalah Intisari |
Penulis | : | Trisna Wulandari |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR