Advertorial
Intisari-Online.com -Kebaikan Kapiten Gan Djie dan istrinya agaknya menjadi cerita yang turun-temurun di jantung kawasan Glodok, Kota Tua Jakarta.
Gan Djie berasal dari Ciangciu, sebuah kota karesidenan di selatan provinsi Hokkian.
Bersama kakaknya, ia datang ke Gresik, Jawa Timur dan berdagang keliling hasil bumi.
Seperti yang diceritakan David Kwa dalam buku Maria van Engels: menantu Habib Kwitang karya Alwi Shahab, Gan Djie muda dikenal jujur, ramah, dan bersemangat tinggi, sehingga disukai banyak orang.
Ia pun diketahui senang pang she –melepas makhluk hidup yang tengah menderita, seperti ikan atau burung yang dijerat – sebuah kebajikan dalam tradisi Buddha.
Baca Juga: Ketahui 7 Kebaikan dari Menyeduh Secangkir Teh Mawar, Yuk Bikin Sendiri di Rumah!
Saat beristirahat di sebuah warung saat berdagang, ia bertemu wanita Bali yang memberitahunya bahwa ada sekelompok orang yang berniat menjahatinya di perjalanan.
Berkat wanita ini, Gan Djie pun terhindar dari celaka.
Kebaikan wanita ini membuatnya jatuh hati dan kemudian menikahinya.
Atas anjuran perempuan yang disapa Nyai itu, Gan Djie pun berhenti berdagang keliling dan mulai berjualan di rumah, yang membuatnya menjadi salah satu saudagar besar di Gresik.
Dengan saran dari seorang teman, Gan Djie pun memboyong istrinya pindah ke Batavia sekitar 1659.
Baca Juga: Glodok, Kampung Cina di Ibu Kota
Di sana ia tinggal di jalan yang kelak bernama Patekoan.
Karena dikenal baik hati, pada tahun 1663 Kapitein der Chineezen Phoa Beng Gam yang telah lanjut usia pun mengusulkan pada Gubernur Jenderal Batavia, Joan Maetsuyker, agar Gan Djie meneruskan jabatannya.
Maetsuyker, yang merasa berutang budi karena anaknya yang tak sengaja terpisah sempat ditolong dan dirawat keluarga Gan Djie, lalu mengangkatnya sebagai Kapitein der Chineezen atau Kapiten Cina ketiga pada 10 April 1663.
Kesibukannya membuat tugas-tugas Gan Djie kerap dibantu Nyai.
Baca Juga: Sepenggal Kisah Gemerlap Nyonya Sosialita di Batavia Zaman VOC
Delapan teko teh
Bagian depan kantor Kapiten warga Tionghoa di Batavia ini seringkali menjadi tempat berteduh pedagang keliling dan orang-orang yang kelelahan di jalan karena hawa panas Batavia.
Saat itu sulit sekali bagi mereka mendapatkan air untuk minum.
Melihat hal ini, istri Gan Djie—yang kemudian dipanggil Nyai Gan Djie—pun mengusulkan pada suaminya untuk menyediakan air teh.
Di depan kantor kemudian dipasang meja-meja kecil yang setiap pagi dan sore hari tersedia delapan teko teh.
Delapan teko ini yang kemudian menjadi asal nama Patekoan, daerah yang kini berada di sekitar Jalan Perniagaan Raya, Glodok.
Pada tahun 1666, Gan Djie wafat dalam tahun ketiganya sebagai kapiten Tionghoa.
Karena sulit mencari pengganti sebaik dirinya, pemerintah Batavia kemudia menunjuk Nyai Gan Djie sebagai penerus jabatan suaminya.
David Kwa menceritakan, banyak urusan rumah tangga warga Tionghoa diselesaikan dengan damai oleh wanita ini.
Selama 12 tahun Nyai Gan Djie memangku jabatannya hingga pada tahun 1678 mengundurkan diri karena merasa sudah tua.
Baca Juga: Tradisi Potong Mata Oleh Tukang Cukur di Cina Menggunakan Silet
Simbol kebaikan
Kisah delapan teko dan rumah Gan Djie sendiri sebenarnya tidak persis terletak di Jalan Perniagaan kini, melainkan di Jalan Perniagaan Raya.
Kebaikan Gan Djie dan istrinya kemudian dituangkan dalam program teh gratis yang disediakan Pantjoran Tea House di terasnya.
Rumah teh ini terletak di muka jalan Pancoran dan pinggir jalan Pintu Besar Selatan, berseberangan dengan Pasar Glodok.
Pantjoran Tea House sendiri didirikan di bangunan eks Apotheek Chung Hwa, apotek bersejarah yang beroperasi pada 1928-1957.
Revitalisasi dan pelestarian bangunan eks Apotheek Chung Hwa diharap juga mampu melestarikan semangat Gan Djie dan istrinya untuk terus berbuat kebaikan, sesederhana satu tegukan teh.