Intisari-Online.com - Pada 1740, pemerintah kolonial menjadikan Glodok sebagai Chineesche Kamp atau kampung Cina. Keputusan ini dibuat setelah terjadinya kerusuhan yang bermula dari ketidakmampuan pemerintah kolonial menghadapi perubahan pasar. “Glodok waktu itu adalah wilayah di luar tembok kota Batavia,” ungkap sejarawan Mona Lohanda.
Di beberapa titik dalam jantung Glodok, kita dapat menemui tempat-tempat peribadatan berumur lebih dari satu abad, yang didominasi warna merah, kuning, dan hijau khas Cina. Salah satu contohnya, Wihara Dharma Bakti yang dibangun pada 1650 oleh seorang letnan tentara Cina, Guo Xun-guon. Sementara Gereja Santa Maria de Fatima menampilkan keunikan dengan bentuk bangunan menyerupai kelenteng. Semula, bangunan tersebut merupakan kediaman seorang pejabat Tionghoa dengan atap berbentuk ian boe heng (ekor walet) dan pintu depannya dipasang sepasang shi shi (singa batu).
Perpindahan bangsa Cina Selatan ke Asia Tenggara, mulai Malaysia, Singapura, sampai Indonesia, membuat langgam bangunan shophouse di daerah Petak Sembilan, Glodok terasa akrab di mata. Bentuknya mirip rumah tinggal dan toko yang dibuat bertingkat seperti terlihat di pecinan negara-negara tetangga kita. Untuk menemukannya, Anda mesti jeli mencari-cari, karena area sekitarnya dipenuhi bangunan-bangunan modern untuk fasilitas aneka perkantoran sampai mal.
Para pemburu cendera mata, menu masakan serta cemilan khas Cina, macam permen dan manisan dapat menemukannya di Petak Sembilan. Saat menjelang tahun baru Imlek dan beberapa hari peringatan tertentu, para pedagang kaki lima menjual amlop merah (angpao), kue keranjang sampai kue bulan. Penikmat kuliner, silakan bertandang ke Gang Gloria, menikmati sedapnya bebek dan dendeng panggang, ifumi, gado-gado, juga yang non halal: babi panggang. (NGTraveler)