Sementara itu, seorang peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati mengatakan jika hukum Indonesia belum progresif menangani masalah kekerasan seksual.
Menurutnya, dalam konteks progresif, pemerkosaan harusnya dirumuskan dalam gender neutral, tidak hanya terbatas paksaan penetrasi penis ke vagina dan tidak hanya berkonteks di luar perkawinan.
Justru, menurutnya titik tekan hukum pemerkosaan diberatkan pada "tidak adanya persetujuan, atau persetujuan tidak diberikan dalam keadaan beban, atau korban pada kondisi tertentu tidak memiliki kapasitas untuk memberikan persetujuan, misal pingsan atau diracun."
Pun, kita semua tahu, aparat justru terfokus pada kondisi korban.
Baca Juga: Masuki Musim Hujan, Waspadai Gejala Tifus pada Bayi, Salah Satunya Bayi Gelisah Terus
Misalnya pada kasus Reynhard, korbannya adalah pria yang keluar kelab malam dan sedang mabuk.
Pastinya, kondisi tersebut justru semakin membebankan prasangka pada korban, karena ia sedang mabuk.
Aparat Indonesia justru tidak melihat kenyataan jika pada kondisi tersebut, korban dalam keadaan lemah dan tidak dapat memberikan persetujuan atau bahkan perlawanan saat sudah terjadi pemaksaan dan kekerasan seksual.
Masih juga beredar anggapan bagi aparat jika pemerkosa pasti orang asing bagi korban, pemerkosaan pasti menyebabkan luka, serta seharusnya korban langsung berani melapor tindakan tersebut.
Penulis | : | Maymunah Nasution |
Editor | : | Maymunah Nasution |
KOMENTAR