Advertorial
Intisari-Online.com – Nama Nikita Mirzani tak pernah lepas dari pemberitaan.
Apapun yang dilakukannya, selalu saja menarik untuk dibahas. Termasuk Insta Story -nya baru-baru ini.
Dilansir dari hype.grid.id pada Senin (16/9/2019), Nikita menggunggah Insta Story akun Instagramnya pribadinya.
Dalam video tersebut, Niki nampak tengah berbelanja di sebuah mall di Jakarta bersama dua anaknya, Azka dan Loli.
Di sana, ibu tiga anak ini terlihat membeli beberapa pakaian dan tengah menunggu penjaga toko untuk menghitung belanjaan.
"Cepetan hitung aduh,"pinta Nikita Mirzani.
"Kak Niki 5 piece semuanya Rp 31.895.000,"tutur penjaga toko.
Kaget, Niki langsung menimpalinya dengan pertanyaan,"Segitu doang?"
"Iya, biasanya lebih banyak sih,"imbuh penjaga toko di sana.
Masih keheranan, Niki lalu menegaskan kalau dirinya memang suka membeli barang mahal.
"Tuh sekali belanja, Rp 30 juta. Ih situ emangnya gembel,"pungkas Nikita Mirzani.
Sebelumnya, Nikita Mirzani juga sempat menggunggah jumlah saldo direkening banknya yang mencapai Rp5 miliar.
Lalu dia juga pernah membuka isi brankasnya yang berisi uang Euro dan emas.
Apa yang dilakukan Nikita pun menarik minat netizen. Ada yang mengapresiasi kerja keras Nikita hingga mendapat kekayaan sebanyak itu.
Namun tak sedikit juga yang mencibirnya dengan alasan pamer.
Lalu bagaimana tanggapan ahli mengenai sikap seseorang yang memamerkan kekayaan mereka di media sosial?
Dilansir darikompas.compada September 2017 silam, ahli sosiologi Rachel Sherman mengatakan denganharta yang dimilikinya, orang-orang kaya memang bisa membeli apa yang ia inginkan berapa pun harganya.
Tetapi, orang kaya biasanya merasa malu jika label harganya terlihat orang lain.
Apa yang Rachel katakan sesuai dengan hasil analisisnya setelah mewawancari 50 orangtua di New York dengan pendapatan minimal 4 miliar rupiah pertahun.
Salah satu kesamaan yang ia temukan dari orang-orang kaya itu adalah mayoritas akan merobek label harga barang yang ia beli sehingga orang lain tak tahu berapa uang yang ia belanjakan.
Dalam esai yang dimuat diNew York Times, Sherman menulis tentang seorang wanita yang setiap tahun menghasilkan 4 miliar rupiah dan mewarisi kekayaan keluarga beberapa juta dollar, selalu membuang label harga baju yang baru dibelinya sehingga nanny-nya tidak sampai melihatnya.
"Seorang desainer interior yang saya kenal juga bercerita, salah satu kliennya selalu menyembunyikan harga barang-barang yang ia beli.”
“Semua barang furnitur yang datang ke rumahnya juga harus dihilangkan agar staf di rumah tidak melihatnya," katanya.
Kebiasaan itu menunjukkan pola yang lebih besar, orang kaya itu menganggap dirinya normal, dan merasa canggung dengan hasil belanjannya karena tidak mau dianggap kaya.
Dalam hal kekayaan atau harta, orang-orang kaya itu juga tidak pernah menunjukkan bahwa ia "kaya" atau "kelas atas".
Menurut Sherman, mayoritas lebih suka istilah "nyaman" atau "beruntung".
Sebagian orang kaya juga mengelompokkan dirinya ke dalam "kelas menengah" atau "di tengah", karena mereka membandingkan dirinya dengan orang yang lebih kaya lagi.
"Orang-orang yang saya wawancara itu tidak pernah membual tentang harga yang mahal.”
“Mereka justru bersemangat bercerita ketika berhasil menawar harga barang, memberi pakaian di tempat biasa, atau naik mobil tua," katanya.
Apa yang Sherman temukan itu sejalan dengan yang dituliskan Thomas C.Corley dalam bukunya "Rich Habits".
Ia melakukan wawancara selama 5 tahun dengan para milyuner untuk mengetahui kebiasaan yang membuat mereka menjadi kaya.
Secara umum, Corley menemukan bahwa orang kaya ingin dianggap sebagai sesuatu yang normal dan mereka ingin lebih dermawan.(Lusia Kus Anna)