Advertorial
Intisari-Online.com -Polemik antaraKomisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) denganPersatuan Bulu Tangkis Djarum (PB Djarum) memuncak pada dihentikannya audisi pencarian mulai tahun 2020.
Semua berawal dari pendapat KPAI yang menganggap ajang pencarian bakat tersebut memanfaatkan anak-anak untuk mempromosikan merek Djarum.
Sebab, menurut KPAI, merek Djarum sudah sangat identik dengan produk rokok.
Padahal, hal ini dinilai melanggar Peraturan Pemerintah Nomor (PP) 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
PP 109 isinya mengatur tentang perlindungan khusus bagian anak dan perempuan hamil.
Lembaga itu juga mengacu pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
"Pada saat rakor 4 September, saat itu jelas bahwa undang-undang mengatakan zero tolerance. Jadi tidak diperbolehkan satupun kata-kata Djarum di dalam audisi. Itulah yang membuat kami keberatan. Akhirnya, tanggal 4 September, kami sudah mengambil sikap," kata Direktur Program Bakti Olahraga Djarum Foundation, Yoppy Rosimin, seperti dilansir INTISARI dari kompas.com.
Namun, benarkah sponsor rokok dalam kegiatan olah raga meningkatkan jumlah perokok atau setidaknya meningkatkan minat seseorang untuk mencoba rokok? Berikut hasil penelitiannya.
Tak hanya di Indonesia, produsen rokok kerap menjadi sponsor kegiatan olah raga di berbagai negara di dunia. Serupa dengan perusahaan minuman keras atau perusahaan judi.
Keberadaan mereka menjadi dilema tersendiri. Di satu sisi mereka bisa berbahaya, khususnya jika paparannya mengenai anak-anak.
Namun, di sisi lain, dana yang mereka sediakan, yang umumnya tak mampu disediakan oleh pemerintah, sangat sulit untuk ditolak.
Setidaknya selama tidak ada perusahan non-rokok (juga minuman keras dan judi) yang bersedia.
Tapi, banyak pihak yang merasa bahwa selama tidak berjualan secara langsung, apalagi mempromosikan produk mereka, keberadaan produsen rokok bukanlah masalah dalam kegiatan olahraga.
Jika hanya sebatas logo atau hanya nama, seperti kata "Djarum" pada PB Djarum, perusahaan-perusahaan ini tak bisa "jualan".
Itu dugaannya.
Namun, sebuah penelitian di Inggris berikut ini justru berkata lain.
Penelitian berikut ini dilakukan oleh S. G. Vaidya dkk pada 1996.
Fokus peneltiian ditujukan pada kompetisi kriket India-Selandia Baru, yang disiarkan langsung di India selama Oktober-November 1995, disponsori oleh perusahaan tembakau Wills (anak perusahaan British America Tobacco Company) dan logonya ditampilkan dengan jelas pada pakaian para pemain dan juga di lapangan.
Empat batang rokok Square, dan Manikchand Gutkha, produk tembakau tanpa asap, juga diiklankan.
Para peneliti kemudian secara acak memilih satu kelas tahun IX dari 53 sekolah menengah di perkotaan Goa.
1948 siswa di kelas-kelas ini (total 5362 anak-anak di tahun IX) diminta untuk mengisi kuesioner terstruktur, pada Januari 1996. Kuesioner diberikan oleh guru kelas.
Semua siswa menyelesaikan kuesioner tetapi tidak semua orang menjawab semua pertanyaan.
Usia rata-rata adalah 14 (kisaran 13-16) tahun; 1013 adalah laki-laki dan 935 perempuan.
Sebagian besar anak-anak (1480) tahu bahwa tembakau sama adiktifnya dengan heroin dan menyebabkan kanker dan penyakit jantung serta mengurangi masa hidup.
Baca Juga: Berkedok Warung Rokok hingga Dijaga Preman, Inilah Penampungan Anjing Ilegal di Semanggi
Terlepas dari pengetahuan ini, 66 dari 1.275 (5,2%) anak-anak yang menonton pertandingan tergoda untuk membeli. Bahkan 40 (3,1%) membeli dan merokok Wills rokok.
Meskipun semua anak-anak menyadari sponsor dari pertandingan kriket oleh tiga produk tembakau,keinginan untuk mencoba tembakau secara signifikan lebih tinggi di antara mereka yang menonton pertandingan.
Anak perempuan secara budaya dilarang merokok di India, jumlah anak perempuan yang merokok Wills tak berbeda jauh dengan anak laki-laki (2,8% berbanding 3,4%).
Meskipun tidak ada pemain di tim India merokok, 1.110 anak-anak berpikir bahwa setidaknya satu pemain merokok dan 428 berpikir bahwa setidaknya empat pemain merokok.
Hanya 1,7% (26/154) dari mereka yang percaya bahwa Sunil Gawaskar (pahlawan kriket India) adalah seorang yang bukan perokok. Sementara mereka yang telah mencoba rokok Wills lebih banyak yang percaya bahwa sang pahlawan tersebut merokok (5,5%).
Proporsi anak-anak yang berpikir bahwa Gawaskar merokok secara signifikan lebih tinggi di antara mereka yang menonton pertandingan (313/1355 v 115/607; rasio odds = 1,3, interval kepercayaan 95% 1,02-1,68).
Kemungkinan percobaan dengan tembakau lebih tinggi ketika anak-anak merasa bahwa merokok memberikan lebih banyak kekuatan, meningkatkan pukulan dan menerjang, dan meningkatkan kemungkinan menang.
Persepsi bahwa merokok meningkatkan kinerja bahkan semakin meningkat dengan menonton pertandingan (66/1335 v 16/607; 1,92, 1,07 hingga 3,5).
Baca Juga: Sutopo, Kanker Paru, dan Cerita Kelam para Perokok Pasif di Indonesia
Dengan demikian pengetahuan tentang efek buruk dari merokok dibayangi oleh persepsi salah yang diciptakan oleh sponsor tembakau.
Jadi, bagaimana dengan PB Djarum?
Baca Juga: Tak Hanya Mematikan, Ternyata Rokok Jadi Salah Satu Penyebab Kemiskinan di Indonesia