Dunia Sakijo jadi sempit kini, yakni hanya berdiam dalam rumahnya yang berdinding batako tanpa plester.
Lantai rumahnya juga masih semen kasar. Aktivitasnya di dalam rumah hanya sekitar dipan sebagai tempat tidur, kursi panjang di samping tempat tidur, yang semuanya ada di ruang tamu di rumah.
Di situ pula dirinya makan, tidur, buang air besar menggunakan ember bekas cat dan pispot untuk air seni, hingga menonton televisi.
Kesempatan menikmati udara luar ketika mandi di depan pintu rumah.
Itu pun dilakukan dengan terlebih dulu merambat pada kursi panjang yang sengaja dibawa ke luar rumah oleh tetangganya.
Menderes atau menyadap nira merupakan pekerjaan pokok dirinya sepulang dari merantau dari berbagai daerah di Indonesia, baik Sumatera hingga Jawa Barat, 19 tahun lamanya.
Ia kembali ke Tangkisan tahun 2006.
Sekembalinya ke Hargomulyo, lulusan sekolah dasar ini menekuni kegiatan membuat gula merah.
Ia menceritakan mampu memanjat 13 pohon kelapa dalam satu hari, yakni pada pukul 06.00-06.30 dan 16.00-18.00.
Selain memanjat, ia juga sekaligus memasak nira itu menjadi gula merah.
“Bisa dapat 3-4 kilogram sehari. Lantas dijual ke orang (pengepul),” kata Sakijo.
Pekerjaan menyadap nira berisiko jatuh dari pohon.
Dan Sakijo mengalami hal ini, bahkan sampai dua kali. Ia jatuh dari ketinggian 8 meter untuk pertama kali pada 2017, pingsan lantas masuk rumah sakit. Ia kembali memanjat usai sembuh.
Setelah hidupnya sempat diwarnai stroke ringan, Sakijo kembali jatuh pada pertengahan Agustus 2018. Tragedi itu sangat fatal bagi dirinya.
Ia jatuh dari ketinggian 8 meter karena salah memegang pelepah pohon kelapa. Ia jatuh namun tidak pingsa. Ia sadar ketika itu bahwa dirinya tidak lagi bisa merasakan kedua tungkai kakinya.
Penulis | : | Mentari DP |
Editor | : | Mentari DP |
KOMENTAR