“Karena apa? Ketika dia dihantam beberapa masalah bertubi-tubi, otak tidak bisa berpikir, emosi, dan sebagainya. Satu-satunya peredam adalah Tuhan yang Maha Esa. Itu energinya jadi meredamkan emosi si orangtua,” kata Hening.
2. Tanamkan konsep yang benar tentang anak
Selanjutnya, menanamkan konsep yang benar dalam benak mereka tentang “anak”. Seorang anak masih asik dunianya sendiri, sering menangis, rewel, manja, bertingkah tanpa aturan, dan sebagainya.
Hal-hal itu merupakan sifat alamiah yang akan memudar seiring dia dewasa.
“Anak tidak bersalah, di konsep pikiran harus ditanamkan dulu, masalah kita harus dipisahkan dengan anak,” ucap Hening.
3. Pisahkan masalah sebagai orangtua
Orangtua harus memisahkan masalahnya sebagai orang dewasa dengan anak-anaknya. Hal ini karena apa yang ada dalam diri orangtua akan terbawa dan berdampak langsung pada emosi si anak.
“Ketika kita galau gelisah, dampaknya itu psikologis ke anak. Jadi anak yang tadinya mungkin ada sesuatu hal di luar akhirnya nangis. Kalau kita gelisah, kita galau, akan semakin berdampak ke anak-anak. Sangat menular,” ujar Hening.
“Kita menyadari dulu, masalah saya adalah masalah orangtua, jangan dibawa pada anak,” lanjut dia.
Source | : | Kompas.com |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR