Advertorial
Intisari-Online.com – Baru-baru ini, ada sebuah kisah viral di Facebook.
Dilansir dari grid.id pada Minggu (14/7/2019), sebuah akun Facebook bernama Rhina Golden mengunggah tulisan dan foto pada Selasa (9/7/2019).
Dalam tulisan tersebut, Rhina menuliskan bahwa dia rela menjual ginjalnya demi pengobatan sang adik.
Usut punya usut, Rina Maelani (19) merupakan warga Terentang, Kabupaten Kubu Raya (KKR), Kalimantan Barat (Kalbar).
Di mana adiknya, Bery Agustustina (16) menderita penyakit komplikasi, paru-paru, hati, dan penyakit lainnya.
Bahkan Rina juga mengunggah dua foto yang memperlihatkan kondisi sang adik yang tampak kurus dan terbaring sakit.
Hingga artikel ini dibuat, unggahan Rina sudah disukai sebanyak 1,5 ribu likes, 1,8 ribu komentar, dan 1,7 ribu kali dibagikan.
Postingan Rina yang viral itu lantas mendapat tanggapan dari Pemkab Kubu Raya.
Melansir dari laman Kompas.com, Bupati Kubu Raya, Muda Mahendrawan memastikan biaya rumah sakit Bery sudah ditanggung BPJS Kesehatan Daerah.
“Pemkab Kubu Raya memberikan bantuan sosial untuk pengobatan Bery, dengan fasilitas BPJS daerah,"kata Muda pada Jumat (12/7/2019).
Keinginan jual ginjal atau organ tubuh untuk menyelesaikan persoalan ekonomi, tak hanya dialami Rina.
Ada berbagai unggahan di berbagai belahan dunia juga banyak yang menulis keinginan menjual organ tubuh.
Namun bisakah organ tubuh dijual atau apakah seorang pendonor dapat diberi upah bila memberikan organnya?
Ahli penyakit dalam ginjal-hipertensi FK UI, dr Tunggul Situmorang SpPD-KGH menegaskan, jual beli ginjal dan organ tubuh apapun tidak dibenarkan dan dilarang keras.
"(Jual beli organ) haram hukumnya," tegas Tunggul melalui sambungan telepon seperti dikutip dari kompas.com pada Kamis (4/7/2019).
"Enggak boleh. Di seluruh dunia, jual beli organ dilarang. Di kita (Indonesia) melanggar Undang Undang, belum lagi melanggar moral.”
“Jadi profesi (dokter) tidak pernah menyetujui apapun alasannya jual beli organ," jelas Tunggul.
Ini artinya, tidak ada imbalan berupa uang bagi orang yang mendonasikan ginjal untuk orang lain.
"Kalau ada unsur jual beli (organ) atau paksaan, itu pasti tidak boleh," imbuh dia.
Aturan ini cukup ketat berlaku di Indonesia.
Pasalnya, bagi pendonor yang bukan keluarga akan dilakukan proses pengecekan menyeluruh bagi pendonor.
Bukan hanya pengecekan kesehatan sebelum transplantasi, tapi juga untuk memastikan bahwa pendonor benar-benar melakukannya secara sukarela tanpa paksaan, atas dasar kemanusiaan.
"Secara medis discreening dengan ketat untuk memastikan apakah dia suitable donor."
"Artinya sesudah mendonorkan organ dia tidak rugi secara medis, hidupnya masih bisa tetap normal," papar Tunggul.
"Namun sebelum screening medis, jika pendonor bukan saudara kandung maka dilihat dulu motivasi (mendonor organ) apa. Ini dilakukan tim advokasi transplantasi," imbuh dia.
Lantas, bagaimana prosedur mendapatkan dan mendonorkan organ?
Sejauh ini di Indonesia pihak keluarga penerima donor yang membawa pendonor ke rumah sakit.
Pendonor bisa merupakan anggota keluarga atau orang lain yang memiliki kecocokan.
"Sekarang ini yang menyelenggarakan RS Cipto Mangunkusumo (RSCM).”
“Jadi yang sakit yang mencari donor, didaftarkan di sana (RSCM), kemudian itu (organ) discreening oleh tim advokasi transplantasi bahwa tidak ada unsur jual beli dan paksaan.”
“Sesudah lolos, pendonor diperiksa kesehatannya apakah layak jadi pendonor, tidak membahayakan diri dan bermanfaat bagi penerima," jelas Tunggul.
Sebagai informasi, saat ini Indonesia sudah membentuk Komite Transplantasi Organ dan Jaringan Nasional.
Nantinya jika komite yang dibentuk Kemenkes ini sudah benar-benar siap, maka masyarakat yang memerlukan donor organ atau ingin mendonorkan organ dapat mendaftar di sini.
Diharapkan ke depan proses transplantasi akan lebih cepat dilakukan. (Muflika)
Baca Juga: Tidur dengan Mulut Diplester ala Andien, Baik atau Tidak untuk Kesehatan? Ini Jawaban Ahli