Jenazah Patra baru dievakuasi pada 22 Juni 2019 menggunakan helikopter yang disewa pemda dari Nabire atau empat hari setelah dia meninggal dunia.
Kematian Patra yang terbilang tragis menjadi keprihatinan banyak pihak.
Tomas Waropen, Kepala Puskesmas Naikere, menyatakan nyawa Patra mungkin bisa tertolong jika pihak Dinas Kesehatan maupun instansi terkait lain cepat merespons laporannya terkait kondisi Patra dan meminta segera dikirim helikopter.
"Kami sudah rapat sampai tiga kali dengan Dinas Kesehatan, Kesra, dan Pak Sekda, tapi tetap tidak ada jalan.”
“Sampai akhimya dia sudah meninggal, baru helikopter bisa naik," ujar Waropen.
Bagi Waropen, Patra adalah pahlawan kemanusiaan. Dia rela mendedikasikan hidupnya untuk kebaikan masyarakat di pedalaman Naikere tanpa banyak mengeluh dan menuntut.
Tindakan mulia yang justru selalu dihindari banyak petugas medis lain.
"Patra adalah pahlawan bagi masyarakat di pedalaman Mairasi (nama suku di pedalaman Naikere),” kata Tomas Waropen.
Tokoh pemekaran Teluk Wondama, Hendrik Mambor, juga turut menyampaikan rasa duka mendalam atas kepergian almarhum.
Melalui pernyataannya yang kami kutip dari akun Facebook-nya, mantan Kepala Bappeda Wondama ini memberikan penghargaan dan rasa terima kasih yang tinggi atas pengabdian Patra selama hidup.
"Mewakili Lembaga Masyarakat Adat Teluk Wondama dan seluruh pejuang pemekaran Kabupaten Teluk Wondama, kami hanya bisa mengucapkan penghargaan atas dedikasimu dan jerih lelahmu bagi masyarakat, khususnya masyarakat di pedalaman Udik Simo, Kampung Oya.”
“Kami tidak mampu membalas jasa baikmu," tulis Mambor. (Rachmawati)
(Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Kisah Mantri Patra, Meninggal dalam Kesendirian Saat Bertugas di Pedalaman Papua”)
Penulis | : | Mentari DP |
Editor | : | Mentari DP |
KOMENTAR