Kadang-kadang terjadi juga bahwa sang macan berhasil menembus juga pagar lembing dan manusia itu. Ini baru pertunjukan yang mengasyikkan.
Sang macan lari menyerbu barisan dengan lompatan: tombak-tombak diarahkan ke atas sedikit untuk menyambutnya di tengah lompatan, tetapi secara tiba-tiba ia mengubah siasat sebelum lawan-lawannya menduga sesuatu ia bertiarap di bawah mata-mata lembing lalu menyelusup di antara kaki pengepungnya.
Baca Juga: 5 Cara Menolong Korban Saat Melihat Kecelakaan di Mudik Lebaran
Tetapi kebebasannya hanya dinikmati dalam waktu singkat. Pak bupati yang sudah siap menghadapi kemungkinan-kemungkinan seperti itu selalu menempatkan beberapa orang penembak tepat di sudu-sudut tertentu.
Setelah berhasil lolos dari tikaman senjata tajam, sebutir peluru menamatkan riwayat sang macan.
Saya sendiri pernah dua kali mengalami peristiwa semacam itu. Di sekitar alun-alun tumbuh beberapa batang pohon beringin tua, yang dahan-dahannya merupakan panggung tingkat balkon bagi rakyat, terutama anak-anak mudanya. Banyak di antara dahan-dahan pohon besar menyemut dengan penonton.
Sang macan yang berhasil meloloskan diri dari kepungan langsung memanjat pokok beringin terdekat yang penuh sarat dengan penonton itu.
Baca Juga: Supaya Lebaran Nyaman, Simak Tips Agar Rumah Tetap Aman Selama Ditinggal Mudik
Ini menghasilkan suatu pemandangan yang jarang didapati. Seketika itu juga turunlah hujan manusia yang deras dari atas pohon beringin. Mujurnya tak terjadi suatu bencana pada hujan itu, dan suatu tembakan tepat telah mengakhiri perjalanan sang pemanjat berkaki empat.
Pada kesempatan ke dua yang pernah saya saksikan, sang macan mengambil jalan lain. la berhasil menyelusup di antara kaki-kaki pagar betis, sampai di dekat pak bupati, sehingga jaraknya kurang dari satu meter.
Tetapi ia tak berhenti di situ untuk menyembah, melainkan lari terus lewat bawah panggung, memasuki pendopo lalu menyembunyikan diri di bawah sofa di ruang tamu. Akhirnya dia juga dihabiskan riwayatnya dengan sebuah tembakan.
Sangkar-sangkar di alun-alun dibuka satu demi satu dan isinya dibunuh dengan cara di atas. Setelah selesai para pembawa lembing bertebaran ke segala jurusan, ke desa masing-masing.
Baca Juga: Jangan Sembarangan Cicipi Adonan Kue Lebaran Kalau Tak Mau Keracunan, Ini Penjelasannya
Sebab setiap orang penombak mewakili desanya, maka tiada jarak yang terlampau besar atau jaIan yang terlalu sulit bagi mereka. Semua desa di seluruh kabupaten Kediri mengirimkan satu atau lebih sebagai wakil dalam perayaan itu.
Terkecoh
Pernah sekali tersiar kabar angin bahwa di dalam salah sebuah peti itu ada seekor harimau besar. Dan memang di tengah alun-alun ada sebelas buah sangkar, sepuluh diantaranya ukuran biasa, tetapi sebuah jauh lebih besar.
Semua penonton menanti dengan hati berdebar penuh ketegangan sampai giliran tiba pada peti besar. Acara pada kesepuluh peti ukuran biasa berlangsung seperti biasa. Akhirnya sang kyai menyembah beberapa kali di depan peti yang besar yang diduga memuat harimau.
la menaiki peti, membuka tutupnya, memutuskan tali-tali pengikatnya, lalu meninggalkan lapangan dengan tenang tetapi khidmat, diikuti dengan penuh ketegangan oleh ribuan pasang mata.
Baca Juga: Mudik Lebaran, Perhatikan Tempat Duduk Teraman di Berbagai Moda Transportasi Ini
Baru setelah tali pada papan dasar ditarik orang terlihat adanya gerak dalam sangkar. Ini makin mendebarkan jantung para penonton, lalu yang ke luar bukannya raja hutan yang ditakuti tetapi es si pemain reyog, lengkap dengan topeng dan kulit harimau.
la bangkit meninggalkan lapangan sambil menari-nari diiringi oleh gemuruh tawa penonton yang terbahak-bahak geli.
Tombak-tombak kini disimpan kembali; beberapa di antaranya dihiasi dengan suatu panji kecil. Ini ialah lembing-lembing yang pernah mengenai salah seekor atau lebih macan yang dijadikan korban dengan meninggalkan tanda-tanda jelas.
Tentu saja hanya sedikit sekali yang bisa memperoleh tanda jasa itu. Dan memang kans untuk bisa menikam hewan rampoikan itu terang sedikit sekali diantara sekian ribu penombak itu.
Source | : | Majalah Intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Yoyok Prima Maulana |
KOMENTAR