Intisari-Online.com – Hari Lebaran Puasa atau Idul Fitri merupakan hari raya terpenting bagi umat Islam.
Namun pada dewasa ini kecuali Sembahyang Id di mesjid-mesjid, tak ada perayaan umum yang besar-besaran.
Masing-masing keluarga merayakannya di lingkungannya sendiri-sendiri. Lain halnya di waktu “tempo doeloe", lebih dari tiga perempat abad lampau.
Di bawah ini kisah perayaan Hari Raya di kota Kediri pada akhir abad 19 yang ditulis oleh J. Sibinga Mulder (alm.) dalam majalah “Cultureel Indie", seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Oktober 1974.
Baca Juga: Terlalu Populer, Kemungkinan 5 Destinasi Wisata Ini Bakal Padat Pengunjung di Libur Lebaran 2019
Pagi dimulai dengan upacara sembahyang ke mesjid oleh Bupati dengan seluruh pamongpraja. Menjelang pukul sebelas siang para undangan telah terhimpun di pendopo kabupaten.
Semuanya mengenakan pakaian upacara: pejabat-pejabat dari seluruh kabupaten sampai dengan tingkat asten wedana, mantri dan penghulu-penghulu kepala.
Mereka menempatkan diri di depan pintu masuk kabupaten; bagian tengah dibiarkan kosong untuk memberikan tempat bagi bupati dengan patih dan jaksa kepalanya.
Pada suatu sisi pendopo berkumpul orang-orang swasta (maksudnya orang Belanda yang tak memegang jabatan pemerintah), semuanya dalam pakaian kebesaran, rok dengan dasi putih.
Baca Juga: Tak Perlu Menunggu Lebaran, Inilah Mengapa Kita Harus Memaafkan Kesalahan Orang Lain
Anggota-anggota korps kehakiman, para insinyur pengairan, kehutanan dan sebagainya ditempatkan bersama para pejabat setempat yang telah pensiun, para kepala golongan Cina dan Arab, berkumpul di sisi pendopo yang lain.
Dalam busana kebesaran lengkap Bupati siap menantikan kedatangan tamu agungnya, yakni residen dengan stafnya, amtenar-amtenar B.B.
Source | : | Majalah Intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Yoyok Prima Maulana |
KOMENTAR