Sejak tadi orang menonton arak-arakan dari sebuah panggung bambu di depan pendopo menghadap ke alun-alun, yang pada empat sisinya dilingkungi oleh barisan pembawa tombak, ada yang dua, ada yang bersaf tiga, merupakan suatu pagar betisr yang rapat.
Di bagian depan panggung langsung di belakang pasukan tombak, muncullah bupati menunggang kuda, didahului dan diikuti oleh pasukan pengawal bertombak.
Kemudian pejabat daerah tertinggi itu dengan rombongannya berhenti di depan panggung, dikelilingi oleh para pengawalnya.
Macan tutul ikut pamer
Di tengah alun-alun terlihat beberapa sangkar persegi panjang yang masing-masing berisi seekor macan tutul. Peti-peti itu terbuat dari papan-papan kayu yang tak dipaku, melainkan diikat dengan tali rotan; pada papan dasarnya terdapat seutas tali yang ujungnya berakhir di belakang barisan.
Papan bagian depan yang merupakan pintu sangkar, mempunyai tangkai pegangan yang menonjol. Hewan yang mendekam di dalam peti ada dalam keadaan gelap gulita dan hampir tak dapat bergerak sama sekali.
Begitu sang bupati memberikan isyaratnya, keluarlah seorang kyai dari belakang barisan, menuju ike tengah lapangan. la mengenakan kain panjang, tak berbaju, di pinggangnya terselip sebilah keris dan tangannya menggenggam parang.
Pawang macan itu mendekati sangkar pertama lalu menyembah. Lantas ia berdiri dd atas peti, menarik pintunya dan mencampakkannya dengan acuh tak acuh ke samping sangkar. Tali pengikat dipotongnya dengan parangnya.
Baca Juga: Sambut Lebaran, Yuk Coba Tips Mengolah Kolang-Kaling Agar Lebih Awet
Ia turun dari atas peti dengan tenangnya, lalu berjalan meninggalkan lapangan pelahan-lahan, tanpa memalingkan lagi mukanya ke belakang, seakan tak peduli akan peti dengan penghuninya, sampai ia mencapai tempatnya sendiri didekat bupati.
Source | : | Majalah Intisari |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Yoyok Prima Maulana |
KOMENTAR