Advertorial

Kisah Pilu Bocah Penderita Sindrom Langka yang Jadi Korban Cyberbullying Keji Hingga Akhir Hidupnya yang Singkat

Nieko Octavi Septiana
,
Ade S

Tim Redaksi

Seorang bocah disabilitas yang menjadi korban penyalahgunaan media sosial meninggal di usia 10 tahun, ibunya berjuang melawan cyberbullying,
Seorang bocah disabilitas yang menjadi korban penyalahgunaan media sosial meninggal di usia 10 tahun, ibunya berjuang melawan cyberbullying,

Intisari-Online.com -Kisah pilu baru saja datang dari seorang ibu yang kehilangan anak perempuannya.

Dilansir dariThe Sun(25/5/2019), seorang ibu asal Carolina Utara, Amerika Serikat, mengungkapkan putrinya yang mengalami disabilitas dan secara tidak langsung menjadi korban cyberbullying telah meninggal di usia 10 tahun.

Sophia Weaver (10) memilikikelainan pada wajah, tangan dan kakinya serta diabetes tipe 1 dan sindrom Rett, suatu kondisi yang mempengaruhi kemampuan bicara dan koordinasinya.

Ibunya, Natalie Weaver dari Cornelius, Carolina Utara, menuliskan cuitan di Twitter, "#SweetSophia kami meninggalkan bumi ini tadi malam saat ia menghabiskan setiap hari dalam hidupnya, dikelilingi oleh cinta & pujaan.

Baca Juga:Kisah Gemma Hayter, Penyandang Sindrom Kesulitan Belajar yang Disiksa 5 'Preman', Mungkin Bisa Ia Selamat Jika Ini yang Terjadi Padanya

"Begitu kita menarik diri dari rasa sakit yang menghancurkan hati ini, kita akan terus membantu orang lain dalam ingatannya."

Bukan hanya karena putri tercintanya tak bisa bertahan untuk hidup, Natalie merasa hancur hatinya tentang postingan bersifat keji dari kampanye pro-eugenika yang menggunakan foto putrinya yang mengalami disabilitas.

Sebelumnya, pada Senin (20/5/2019),Natalieyang masih dipenuhi harapan menuliskan,"Saya benar-benar takut. Saya tahu gadis saya adalah pejuang dan dapat melewati ini."

Karena kondisi yang dialaminya, gadis kecil itu menjalani 22 operasi yang sangat melelahkan dalam hidupnya yang singkat, harus memiliki selang makanan dan kantong kolostomi,serta membutuhkan perawatan 24 jam.

Baca Juga:Preeklampsia, Sindrom Ibu Hamil yang Sebabkan RA Kartini Meninggal, Kenali Bahayanya

Tragisnya, penampilan Sophia yang berbeda telah membuatnya menjadi target untuk penyalahgunaan online yang tidak menyenangkan, dengan berbagai orang berkomentar bahwa dia akan lebih baik jika tidak ada di dunia.

Pro-eugenika percaya pada "perbaikan" fitur genetik manusia melalui pemuliaan selektif dan sterilisasi.

Natalie memutuskan untuk mengambil tindakan setelah seseorang mengiriminya tweet langsung yangberisi pesan pro-eugenika, dengan gambar Sophia sebagai ilustrasi.

Tulisantanpa perasaan itu berbunyi, "Tidak apa-apa untuk berpikir bahwa setiap anak penting, tetapi banyak dari mereka tidak.

"Karena itu tes amnio harus menjadi tes wajib dan jika itu terbukti negatif dan wanita itu tidak ingin membatalkan maka semua tagihan yang timbul setelah itu adalah pada dirinya dan ayahnya."

Baca Juga:Awas, Cyberbullying Mengancam Anak Anda!

Marah karena seseorang menggunakan gambar putrinya dengan cara ini, Natalie mengeluh kepada pihak Twitter dengan harapan foto itu akan dihapus dari situs.

Namun terlepas dari dia melaporkan pesan dan mendorong pengikutnya untuk melakukan hal yang sama, Twitter mengklaim tweet itu tidak melanggar aturan atau peraturan mereka.

Natalie, seorang penasihat kesehatan untuk anak-anak dengan kebutuhan medis yang kompleks, membalas pada @TwitterSupport, "Baru saja menerima email bahwa Twitter tidak menganggap seseorang menggunakan gambar anak saya sebagai poster untuk ABORTUS dan untuk menghilangkan semua 'barang cacat' dirahim adalah pelanggaran.

"Kenapa? Karena mereka tidak akan menerima kebencian terhadap para penyandang cacat dalam peraturan/laporan mereka."

Akhirnya, setelah berjuang terus-menerus, Twitter meminta maaf kepadanya danakun yang memposting pesan jahat itu ditangguhkan.

Baca Juga:Memilih Berkarir Sebagai Model, Ratu Kecantikan Muslim Ini Jadi Korban Bullying, Sampai Disebut PSK

Dalam email tindak lanjut, juru bicara Twitter menulis, "Tujuan kami adalah menciptakan lingkungan yang aman bagi semua orang di Twitter untuk mengekspresikan diri secara bebas.

"Setelah meninjau laporan Anda sebelumnya, sepertinya kami melewatkan pelanggaran.

"Kami menangguhkan akun yang Anda laporkan karena terbukti berpartisipasi dalam perilaku kasar. Kami mohon maaf atas kesalahan ini."

Masih ingin berjuang agar tak ada orang disabilitas yang menjadi korban seperti anaknya lagi, Natalie melawan platform media sosial, terutama setelah menemukan bahwa alat pelaporannya tidak memiliki fitur pelaporanuntuk memasukkan kebencian terhadap disabilitas sebagai alasan untuk meninjau tweet.

Dia mengatakan kepada CNN, "Twitter perlu menambahkan orang-orang penyandang cacat sebagai kategori dalam pelaporan pelanggaran mereka.

"Kalau tidak, orang tidak tahu kategori yang tepat untuk memilih kebencian terhadap orang-orang cacat."

Artikel Terkait