Advertorial
Intisari-Online.com -Bulan Mei selalu memiliki arti khusus bagi warga Indonesia, khususnya mereka yang pernah melewati tahun 1998.
Sebab, pada bulan dan tahun itulah Indonesia mengalami krisis moneter hebat.
Krisis ekonomi yang pada akhirnya memicu kerusuhan rasial serta runtuhnya Orde Baru beserta Presiden Soeharto.
Dampak krisis moneter sendiri dialami semua pihak. Tak hanya masyarakat manusia yang dibikin kalang kabut, satwa juga merasakan imbasnya.
Baca Juga : Rupiah Capai Titik Terburuk, Pengamat: Angka Boleh Sama, tapi Kondisi Jauh Berbeda dengan Krismon 1998
Harimau penghuni kebun binatang terpaksa "dipuasakan", sementara gajah hanya disuguhi batang pisang.
Sebaliknya, ada yang justru diutungkan. Perajin wayang golek di Bogor, gembira menuai dolar.
Simak kisah mengerikan terkait krisis moneter 1998 seperit pernah tayang di majalahIntisari edisi Mei 1998 berikut ini.
---
Baca Juga : Manfaatkan Krisis Moneter 1998, Roy Suryo Menambah Koleksi Mobil Mercy-nya yang Puluhan Unit Itu
“Sebetulnya sampai 31 Maret 1998 yang kelimpungan adalah kontraktor penyuplai pakan satwa kebun binatang. Karena mereka harus menyediakan pakan dengan volume, mutu, dan harga sesuai perjanjian kontrak yang dilakukan pada saat kondisi normal," kata Ir. Atje Dimjati Salfifi, waktu itu kepala badan pengelola Kebun Binatang (KB) Ragunan Jakarta.
Sebagai satu-satunya kebun binatang milik Pemda Tk. I, KB Ragunan menerima kucuran dana lewat APBD DKI Jakarta.
Dengan dana anggaran itu lalu pihak KB Ragunan menenderkan pengadaan pakan kepada kontraktor penyuplai pakan.
Baca Juga : Nilai Tukar Rupiah Dekati Rp15 Ribu, Ini 7 Perbedaan Kondisi Ekonomi 1998 dan 2018
Ketika terjadi krisis moneter, pendanaannya masih dalam tahun anggaran 1 April 1997 - 31 Maret 1998, dengan anggaran sebesar Rp1,5 miliar.
Sementara itu untuk anggaran tahun berikutnya baru akan berlaku tanggal 1 April 1998 – 31 Maret 1999, dan masih dalam proses penyusunan ketika Intisari menemui kepala KB Ragunan pada awal April 1998.
Seandainya nilainya tidak berbeda dengan anggaran tahun lalu, .untuk menghadapi masa krisis, pihak Ragunan perlu melakukan penghematan.
Baca Juga : Rupiah Anjlok, Benarkah Kondisi Ekonomi saat Ini Lebih Buruk Dibanding Krisis Ekonomi 1998?
MACAN "DIPUASAKAN"
Dalam kondisi ekonomi normal, pihak Ragunan'selalu memberikan makanan secara optimal, tidak berlebihan ataupun kurang.
Pada saat krisis moneter, menu optimal itu bisa turun menjadi menu standar, namun masih tetap memenuhi syarat untuk hidup sehat dan baik.
Sebagai upaya penghematan, KB Ragunan menerapkan langkah alternatif, a.l. pengurangan porsi, penjarangan jam makan, dan pemberian menu pengganti.
Untuk harimau misalnya, pengurangan porsi. Makannya dari 5 - 6 kg menjadi 4 kg daging/hari. Sementara penjarangan makannya dari enam menjadi empat kali seminggu.
Tadinya dalam seminggu hanya ada satu hari "puasa", yakni Minggu. Sekarang, penghuninya harus berpuasa tiga kali seminggu (Rabu, Jumat, dan Minggu).
Meski "dipuasakan", kesehatan dan penampilan satwa tetap dijaga. Bahkan, dengan menu diet khusus ini harimau tampak lebih ramping, gesit, dan atraktif.
Pengurangan porsi maupun penjarangan jam makan, menurut Atje, dilakukan terutama terhadap satwa dewasa.
Satwa anakan atau induk yang sedang bunting tetap diberi menu optimal agar pertumbuhan atau kesehatan mereka tak terganggu.
Sedangkan penggantian pakan dilakukan dengan memilih materi yang lebih murah.
Selain daging lokal, menu harimau biasanya berupa daging kanguru dan daging sapi.
Mengapa dipilih kanguru? Menurut Atje, harga daging kanguru pada saat ekonomi normal hanya 1/3 harga daging lokal.
Selain itu pengadaan daging kanguru bisa memenuhi tiga hal, yakni kualitas, kuantitas, dan kontinuitas.
Sementara, nilai nutrisi daging sapi dan kanguru relatif saraa. Namun, karena pada saat ini harga daging kanguru mahal, mau tak mau Ragunan beralih ke daging lokal.
Manajemen kebun binatang ini juga sedang menelaah pemberian daging babi hutan untuk harimau sebagai salah satu menu alternatif.
Di hutan harimau memang memangsa babi hutan, tapi di Ragunan sudah terbiasa diberi daging sapi, kerbau, dan kanguru.
Makanya, perlu pengamatan bila akan mengganti menu dengan daging babi hutan kepada harimau itu.
Terutama terhadap kemungkinan timbulnya "alergi", misal mencret.
"Kalau pun babi hutan dimasukkan dalam program pemberian pakan, ya, harus mempertirhbangkan segi kualitas, kuantitas, dan kontinuitas penyediaannya," kata Atje.
Satu lagi solusi yang bisa dilakukan, yakni pengurangan satwa. Semisal, satwa dikembalikan ke alam. Tentu saja dipilih yang sehat dan dianggap mampu beradaptasi dengan lingkungan "baru"nya.
Penghematan dengan cara mengurangi kebiasaan makan satwa juga diterapkan di Taman Safari Indonesia (TSI), di Cisarua, Bogor, seperti diakui Drs. Jansen Manansang, M.Sc, saat itu salah satu direktur TSI.
Hewan karnivora (pemakan daging), seperti harimau, singa, buaya, ular, burung elang, dan satwa buas lain, yang biasanya diberi makan tujuh hari, kini berkurang menjadi lima hari makan.
Bagi harimau dan singa yang diberi daging 4 - 5 kg/hari, pengurangan jumlah hari makan tidak mempengaruhi kehidupan mereka, bahkan tampak lebih gesit dan bersemangat.
Hal yang sama juga dilakukan di KB Gembiraloka, Yogyakarta. Macan terpaksa "berpuasa" dengan hanya diberi makan dua hari sekali.
Langkah ini, katanya, meniru KB Singapura yang memberi makan kepada macan atau singa dua hari sekali. Hanya saja, daging yang diberikan tergantung jenis daging mana yang paling murah.
Baca Juga : Rupiah Hari Ini Sangat Lemah bahkan Terburuk Sejak tahun 1998, Ternyata Hal Ini Penyebabnya
MENCARI BAPAK ANGKAT
Di Ragunan satwa jenis herbivora, (pemakan tumbuhan), semisal gajah, tidal terlalu terimbas krisis moneter.
Pasalnya, sebagian besar pakannya, yakni rumput, ditanam sendiri di sebagian area seluas 135 Ha di dalam teritorial KB Ragunan.
Kerepotan pengadaan rumput justru ketika musim kemarau panjang, yang harus didatangkan dari luar lakarta.
Sementara itu gara-gara harga melonjak, pakan gajah di KB Gembiraloka, Yogyakarta, berubah cukup drastis. Ketika kondisi nprmal, setiap hari gajah diberi pakan rumput gajah (kolonjono), buah-buahan, bekatul, dan nasi, kini hanya mendapat jatah gedebok (batang pisang).
Sedangkan buah apel, nanas, pisang, dan lainnya sama sekali tidak diberikan. Maklum pemasukan dari pengunjung KB Gembiraloka di kala krismon cenderung berkurang.
Pemberian pakan batang pisang, menurut KMT A Tirtodiprojo, waktu itu direktur utama KB Gembiraloka, tidak apa-apa karena memang masih merupakan makanan gajah ketika masih di habitat aslinya.
Sebetulnya Gembiraloka memiliki lahah rumput gajah, tetapi produksinya tidak mencukupi kebutuhan. Kalau harus mendatangkan rumput gajah dari luar harganya kurang lebih Rp200 ribu per truk.
Padahal satu truk, dilaporkan, hanya cukup untuk makanan gajah selama beberapa hari.
Sementara itu monyet dan orang hutan di KB Gembiraloka tidak lagi diberi makanan buah-buahan.
Sebagai penggantinya mereka disediakan roti tawar yang diberi selai dan minuman susu kemasan yang sudah tak layak dikonsumsi manusia, tapi tidak membahayakan kesehatan satwa. Misalnya, susu yang kedaluwarsa belum lebih satu bulan.
Rusa pun mengalami nasib serupa. Meski pakannya bekatul, dedak, dan rumput, tapi karena jumlahnya lebih dari 100 ekor, cukup merepotkan.
Karena itu, Gembiraloka berkeinginan mengurangi jumlah binatang ini. Bahkan, juga ditawarkan kepada masyarakat untuk digaduh, dengan catatan harus merawatnya benar-benar.
Atau, barangkali ada yang berminat menjadi "bapak angkat” mereka. Artinya, binatang tetap di kandang Gembiraloka, sementara "bapak angkat" menyantun biaya pakannya.
Dampak krisis juga terasa di Pusat Latihan Gajah (PLG) Way Kambas, Lampung. Jatah makan penghuni "sekolah gajah" di sana tidak berkurang, namun persediaan obat menjadi amat terbatas.
Jadilah obat tradisional sebagai alternate Gajah yang diare terpaksa diberi daun jambu biji atau daun kluwih (sejenis sukun).
Baca Juga : Dianggap 'Terlibat' Penghilangan Aktivis 1998, Mengapa Prabowo Bisa Mendapat SKCK?
SANA-SINI TERIMBAS KRISIS
Dibandingkan dengan binatang, dampak krismon terhadap kehidupan manusia tak kurang mengkhawatirkannya.
"Gaji yang dulunya cukup untuk belanja sebulan, kini hanya cukup untuk setengah bulan. Ya, terpaksa berhemat," keluh Ny. Nani ibu dari dua anak.
"Namun, susu tetap hams dibeli karena anak saya masih balita. Yang bisa dihemat meliputi daging ayam, daging sapi, makanan kaleng, belanja pakaian, kosmetik, mainan anak-anak, makan di restoran, dll."
Pengusaha katering pun kehilangan pelanggan. "Sejak masa puasa sampai dengan Sidang Umum MPR, Maret lalu, pesanan hampir tidak ada," keluh seorang pengusaha katering.
Beberapa kantor yang memesan makanan untuk hidangan rapat, katanya, menurun drastis. Pesta pengantin pun banyak yang beralih ke menu makanan lebih sederhana.
"Penurunan. pesanan bisa sampai 50%," ungkap pengusaha katering lain.."Kami pun terpaksa menaikkan harga 25 - 40% karena harga bahan-bahan naik luar biasa.
Pesanan termurah Rp16 ribu per orang bisa diturunkan menjadi Rp14 ribu – Rp15 ribu perorang kalau tanpa ayam.
Tanpa buah impor dan makanan berbahan susu; ada potongan harga lagi! Misal, puding yang biasanya dilengkapi fla (saus) dari bahan susu diganti pencuci mulut berbahan santan.
Meski begitu pengusaha ini mengaku belum mem-PHK ataupun memotong gaji karyawan yang jumlahnya puluhan. Tapi dengan menurunnya pesanan, uang tip mereka tentu berkurang.
Pengusaha yang lebih berkonsentrasi pada pesanan rantangan untuk karyawan pabrik/perusahaan juga mengaku pesanan menurun gara-gara beberapa pabrik ditutup atau pegawainya di-PHK.
Harga pesanan naik 20 - 40%, tergantung menunya. Pemilihan buahnya lebih selektif meski yang dipilih buah lokal.
Semangka, melon, dan nanas, dipilih untuk menggantikan pepaya dan pisang yang berharga lebih mahal. Demikian juga seorang ibu penjual makanan kecil ikut "macet".
"Harga bahan-bahan pembuat kue, seperti terigu, telur, keju, dll, semuanya naik. Lalu, saya mesti menjual sepotong kue dengan harga berapa?" tanyanya.
Lain pengusaha makanan, lain pula pengusaha bunga potong.
"Saya pusing, harga bibit bunga impor dari Negeri Belanda kini naik sampai 200%," keluh salah satu pengusaha bunga yang punya kebun bunga di kawasan Puncak.
"Umbi bunga leli impor dari harga Rp30 ribu per 10 umbi naik menjadi Rp90 ribu per 10 umbi. Karena kontrak dengan harga lama hanya sampai April 1998, untuk sementara kontrak terpaksa dihentikan sampai nilai dolar stabil."
Lebih celaka lagi, untuk mematok harga tinggi, tidak mungkin. "Soalnya banyak pesaingnya," katanya.
Adakalanya pengusaha bunga potong terpaksa menurunkan harga atau menawarkan dengan harga obral kepada teman atau tetangga. "Daripada tersisa dan akhirnya membusuk," katanya beralasan.
Baca Juga : Sejak Tahun 1998, Umat Buddha di Vihara Ini Sediakan Buka Puasa Gratis
GOLEK PESTA DOLAR
Sementara banyak yang terimbas krisis, tidak demikian dengan Dase A.S. (42), perajin cendera' mata wayang golek, di Bogor, Jawa Barat. Usaha yang mulai digeluti sejak ta-hun 1976 ini justru tidak terkena dampak buruk krismon.
"Alhamdulillah, saya tidak kena dampak (buruknya). Sebelumnya usaha saya stabil, sekarang ketika dolar menguat keuntungan saya meningkat 60%," tutur perajin golek yang waktu itu bekerja dengan sebelas pekerja ini.
"Kalau dulu satu.wayang golek nilainya Rp90 ribu atau sekitar AS $ 30, sekarang dengan kurs Rp 8.000 per AS $, nilai rupiah yang diterima mencapai Rp240 ribu," ungkapnya.
Wajar kalau Dase memasang patokan harga dalam dolar, sebab pembelinya turis asing.
"Bule maunya sih rupiah. Mereka sering bertanya, 'Mengapa harus dolar?' Saya pun menjawab, tidak tahu," ujar Dase.
Bukan tanpa alasan kalau Dase memasang harga dalam dolar AS. Dengan patokan dolar, angkanya seolah-olah kecil.
"Kalau sudah jadi, mau tidak mau 'kan harus dibayar. Kadang mereka bengong juga. Kok nilai rupiahnya jadi besar amat, ha ... ha ... ha...," katanya disertai derai tawa.
Selain dolar AS, Dase juga menerima mata uang asing lain, macam gulden Belanda, franc Prancis, atau mark Jerman.
"Dulu kalau ditawarkan dalam rupiah, mereka kaget, Two hundred thousand? Big money'. Lantas, saya bilang, You jangan melihat rupiahnya. You look dollar, only twenty dollars. Akhirnya mereka mengerti juga, 'OK, 1 pay you'. Karena cinta rupiah, ya, tinggal menukar lagi ke rupiah."
Kebanyakan pembelinya turis dari Jerman, Belanda, Prancis, Swis, AS, Kanada, dan Australia. Sebagian besar turis Belanda. Bahkan, ada turis Belanda yang menjadi pelanggan.
Di negeri kincir sana, ia memang menjual benda-benda seni. Dalam setahun ia datang tiga kali dan memesan 225 unit wayang.
Selain itu juga ekspatriat yang tinggal di Jakarta dan Tangerang. Umumnya mereka mengetahui alamat Dase dari buku panduan wisata Indonesia yang diterbitkan dalam beberapa bahasa, seperti Inggris, Belanda, Jerman, Prancis, dan Italia.
Jumlah tamunya pada masa krisis ini tak mengalami penurunan.
"Penuh terus! Nggak tahu ya, mungkin bagi bule saat ini kesempatan untuk belanja di Indonesia. Lagi murah-murahnya," katanya.
Rata-rata, dalam satu bulan terjual 120 wayang golek dengan ukuran bervariasi, 30 cm, 45 cm, dan 75 cm.
"Paling sedikit laku 60 wayang. Kalau membeli satu-dua, biasanya langsung dibawa. Tapi kalau minta dikirim minimal membeli empat wayang."
Bahan wayang golek biasanya berupa kayuAlstonia scholars(kayu lame atau pule) dari Leuwiliang dan Jasinga, Jawa Barat. Sedangkan kain batiknya adakalanya dari pelelangan di Perum Pegadaian.
"Kualitasnya 40% lebih baik daripada kain baru. Batik lama kalau terkena air tidak luntur. Sebaliknya, kain batik sekarang seharga Rp15 ribu - Rp20 ribu mudah luntur," ungkapnya.
Selama krismon biaya produksinya memang meningkat. Sebab, "'Gaji karyawan dinaikkan sekitar 25%."
Padahal, "Mereka tinggal kerja saja, sementara semua bahan baku dan akomodasi, saya yang jamin," kata Dase.
Demikian juga dengan harga bahan baku kayu dan kain batik. Tapi semua itu ternyata tak merugikannya. Yang terjadi malah sebaliknya, keuntungannya meningkat dalam angka rupiah!
Baca Juga : Mengenang Reformasi 1998, Inilah 5 Drama Terpenting Jelang Mundurnya Soeharto dari Kursi Presiden