Agar tidak terlalu memikirkan penyakitku, iseng-iseng aku juga membuat kalender sendiri. Setiap tanggal yang telah kulewati di RS kucoret. Jadi, aku bisa tahu tinggal berapa lama lagi waktuku di sana.
Secara psikologis, ini cukup membantuku melewati waktu dan pengobatan. Sebetulnya, jadwalku dirawat inap di sana hanya dua bulan, tapi molor karena aku tidak selalu dalam kondisi fit. Sehingga, kemoterapi terpaksa ditunda.
Baca Juga : Hati-hati! Demam Adalah 1 dari 6 Gejala Awal Leukemia Seperti yang Diderita Anak Denada
Kemoterapi yang kujalani tak terhitung jumlahnya, karena pengobatan utama dari leukemia adalah kemoterapi.
Asal tahu saja, leukemia menghabiskan enam protokol pengobatan, kalau tidak salah masing-masing berlangsung selama enam bulan. Mengetahui jadwal pengobatan secara detail menurutku penting, karena prosesnya berjalan lama.
Mempelajari jadwal pengobatan inilah yang juga menaikkan motivasiku untuk sembuh.
Selama tiga bulan di rumah sakit, bosan juga melandaku. Kalau sekarang ada ponsel pintar yang bisa jadi teman untuk membunuh waktu, saat aku sakit dulu, televisi di ruangan pun tidak ada. Akhirnya aku minta dibelikan walkman.
Baca Juga : Bukannya Malu, Wanita Ini Malah Selamatkan Bocah Penderita Leukemia Gara-gara Salah Kirim Foto
Aku sendiri lebih memilih merasa sakit akibat kemoterapi dibanding harus merasakan sakit yang nano-nano rasanya, tapi tidak berujung karena kanker.
Efek kemoterapi paling-paling merasa mual, pusing, sariawan, dan lainnya yang bisa dilawan dengan minum jus, makan yang banyak dan bergizi.
Namun, kalau sendi-sendi sakit, sulit berjalan, limpa dan hati bengkak, buatku sudah tak karuan rasanya. Baru saja merasa enak karena efek kemoterapi, sudah harus menjalani kemoterapi lagi.
Di sisi lain, “hadiah” dari ibuku juga menjadi pembangkit mood bagiku. Kalau aku sudah menyelesaikan kemoterapi, biasanya ibu memperbolehkanku membeli makanan dari luar menu rumah sakit.
Source | : | Tabloid Nova |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR