Aku dan ibuku pergi dan pulang menumpang bus umum, dengan kondisiku yang “teler” karena efek radioterapi hampir sama dengan kemoterapi.
Apalagi, tinggal di rumah orang lain, kan, tidak senyaman tinggal di rumah sendiri. Setelah selesai radioterapi, aku dan ibuku pulang ke Pandeglang.
Setelah kembali bersekolah, aku juga mendapat dispensasi dari sekolah untuk tidak ikut pelajaran olahraga, karena aku tidak boleh capek. Memang aku mengganti seragamku dengan baju olahraga, tapi aku tidak ikut kegiatan fisiknya.
Kontrol dan pengobatan terus berjalan. Kalau tiba waktunya kontrol, kami harus rela berangkat pukul 05.00 dari Pandeglang, terjebak macet di Jakarta dan kepanasan di dalam bus agar bisa sampai di RSCM pukul 08.00.
Baca Juga : Mengharukan! Demi Pengobatan Anaknya yang Menderita Leukemia, Ayah Ini Rela Jadi Badut Jalanan
Bergabung dengan YOAI
Tak hanya perjalanan pulang-pergi, proses, maupun efek pengobatannya juga berat. Namun, meski bosan dan capek, semua jadwal pengobatan kuikuti dengan tekun.
Makin lama, makin jarang frekuensi obat yang masuk, sehingga tubuhku lebih kuat.
Setelah 2,5 tahun, pengobatanku berakhir ketika aku kelas 3 SMP. Sejak SMA kelas 1, aku tak pernah lagi datang ke rumah sakit karena sudah dinyatakan bersih dari kanker.
Namun, tahun 2005 ketika aku kuliah jurusan Administrasi Negara tingkat akhir di Pandeglang, sebuah segmen dalam tayangan talkshow di teve yang menampilkan survivor kanker anak dan orangtuanya membuatku tergugah.
Baca Juga : Shi Luyao, Bocah 11 Tahun yang Sendirian Menempuh Jarak 400 Kilometer untuk Terapi Leukemia Akut
Dalam acara itu, anak itu tidak bisa menjawab ketika ditanya apa yang ia rasakan ketika menderita kanker semasa balita dulu.
Source | : | Tabloid Nova |
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | Ade S |
KOMENTAR