Advertorial

Kisah Natarini, Berhasil Sembuh dari Kanker Darah Karena Bertekad Ingin Sekolah Lagi

K. Tatik Wardayati
,
Ade S

Tim Redaksi

Pengalaman seorang gadis yang menjalani prosedur pengobatan yang lama, dan termotivasi sembuh karena ingin sekolah lagi.
Pengalaman seorang gadis yang menjalani prosedur pengobatan yang lama, dan termotivasi sembuh karena ingin sekolah lagi.

Intisari-Online.com – Tak ingin kehilangan teman-teman sekolah membuat Natarini Setianingsih (27) bersemangat untuk sembuh dari leukemia, semasa SMP dulu.

Kini, perempuan lajang ini giat berbagi pengalaman dan semangat pada para pasien kanker anak dan orangtuanya lewat komunitas yang didirikannya bersama empat temannya sesama survivor.

Simak tulisan Hasuna Daylailatu, Natarini Setianingsih; “Aku Sembuh dari Leukemia”, yang pernah dimuat di Tabloid NOVA edisi 1465 tahun 2016 berikut ini.

Dulu, sewaktu aku masih duduk di kelas enam SD, ada salah satu murid ibuku yang menjadi pasien kanker leukemia di Pandeglang, kota tempat tinggalku.

Baca Juga : Ani Yudhoyono Terkena Kanker Darah: Ini 5 Gejala Leukemia yang Sering Diabaikan, Salah Satunya Memar

Waktu itu, penyakit kanker jarang diderita warga Pandeglang, sehingga ketika ada yang menderita penyakit ini, bisa dibilang hampir seisi kota akan tahu dan merasa iba.

Ibuku yang berprofesi sebagai guru SD mengajakku menjenguk muridnya itu bersama guru-guru lain.

Memang benar, kondisi anak itu sangat menyedihkan sehingga membuatku iba. Seminggu sekali dia menjalani transfusi darah, Belum lagi, gusinya mengalami perdarahan dan rambutnya rontok.

Tak lama setelah kami jenguk, anak itu meninggal karena tak kuat melawan penyakitnya.

Baca Juga : Tunda Kemoterapi Leukemia Demi Bayinya, Ibu Ini Meninggal, Begitu Pula Bayinya

Aku ingat, sejak SD aku sudah sibuk. Setelah pulang sekolah, pukul 14.00 aku berangkat ke sekolah agama sampai pukul 17.00. Setahun kemudian, setelah masuk SMP, aku yang merupakan anak sulung dari dua bersaudara, sibuk dengan kegiatan Masa Orientasi Siswa (MOS) dan kegiatan sekolah lainnya.

Mungkin karena inilah, aku yang waktu itu baru berusia 12 tahun kecapekan dan mulai terserang batuk, pilek, demam, dan pucat pertengahan catur wulan pertama.

Sebenarnya, sakitku ini seperti yang dialami orang lain. Kondisiku drop, di sekolah pun sulit berkonsentrasi. Rasanya sungguh tidak nyaman.

Aku jadi sering tidak masuk karena sakit. Meski sudah diperiksakan ke dokter dan minum obat, sakitku kembali datang begitu obat habis.

Baca Juga : Ani Yudhoyono Idap Kanker Darah: Ternyata Tali Pusar Bisa Jadi 'Penyambung Nyawa' para Penderita Kanker Darah

Kondisi ini terus berulang, meski berkali-kali diperiksa dokter yang berbeda, mulai dari dokter umum sampai dokter anak. Dokter yang satu mendiagnosa aku terkena tipus, dokter lainnya mengatakan aku menderita liver karena melihat wajahku pucat, dan dokter satu lagi mendiagnosa aku kena malaria.

Titik balik hidupku tiba bersama diagnosa yang menakutkan dari dokter spesialis penyakit dalam yang kami datangi setelah dua bulan sakitku tak kunjung sembuh. Oktober 1996 itu, aku diminta melakukan tes darah lengkap, dan hasilnya seakan dunia berhenti berputar. Aku didiagnosa leukemia!

Tak Kembali ke Rumah

Untuk lebih memastikan, dokter memintaku menjalani pemeriksaan yang lebih lengkap di RSUP Cipto Mangkunkusumo (RSCM) Jakarta.

Baca Juga : Mengenal Salah Satu Penyebab Kanker Darah, Penyakit yang di Derita Ani Yudhoyono

Bagi kami yang tinggal di kota kecil, penyakit kanker waktu itu terdengar sangat menyeramkan. Apalagi, leukemia. Aku bertanya pada ibuku, benarkah leukemia itu juga yang diderita murid ibuku yang meninggal itu? Kami lalu menangis.

Meski masih kecil, karena baru dua bulan duduk di bangku SMP, setidaknya aku tahu penyakit itu karena pernah bertemu pasiennya.

Terlintas kembali dalam benakku murid ibuku yang kami jenguk waktu itu. Ternyata aku menderita penyakit yang sama seperti dia.

Terbayang pula kelak nasibku akan seperti dia, mati muda saat dunia sedang asyik-asyiknya bagi anak seumurku. Bukan hanya ibu dan keluargaku, aku pun terus menangis mengingat nasibku bisa seperti itu.

Baca Juga : Ani Yudhoyono Idap Kanker Darah: Wanita Ini Berhasil Sembuh Total dari Kanker Darah Berkat Kunyit

Dunia kami seolah runtuh. Sore hari, sepulangku dari dokter, seluruh keluarga besarku, juga para tetangga dan saudara berkumpul di rumah.

Mereka tahu aku akan menjalani pemeriksaan ke RSCM dan takut aku tak pulang lagi ke rumah. Rasanya, itulah saat perpisahan bagiku dengan mereka semua.

Aku merasa seolah-olah aku tak akan kembali lagi. Dan ini membuatku semakin sedih dan berat berangkat ke Jakarta, terutama setiap kali melihat kakek dan nenek yang tinggal bersama kami.

Namun, besoknya aku berangkat ke Jakarta. Seluruh keluarga besarku ikut mengantarkan.

Baca Juga : Sudah Murah, Bahan-bahan Alami yang Dipercaya Ampuh Mencegah Kanker Darah Ini pun Mudah Didapat

Selama seminggu dirawat inap di RSCM untuk menunggu hasil pemeriksaan, rasanya deg-degan. Namun, sebetulnya kami sudah menduga hasilnya akan positif kanker leukemia karena ada beberapa pasien lain di sana yang gejalanya sama denganku.

Di RS kami jadi lebih tegar. Di sana juga banyak pasien kanker lain. Aku dan keluargaku merasa tidak sendirian. Dan ternyata benar, hasil tes menyatakan aku menderita kanker darah stadium satu.

Beruntung, kanker ini sudah diketahui sejak masih dini, jadi bisa langsung menjalankan proses pengobatan. Ditambah lagi, kondisiku mulai membaik, tidak separah ketika pertama kali dibawa ke RSCM.

Selain sudah mulai transfusi darah, wajahku sudah mulai memerah dan tidak pucat lagi. Limpa dan hatiku juga tidak lagi bengkak.

Baca Juga : Studi: Lingkungan Bersih dan Bebas Kuman Bisa Jadi Salah Satu Penyebab Leukemia Lho

Dibor Delapan Kali

Beruntung, dokter yang menanganiku memberikan keterangan yang sangat lengkap tentang protokol pengobatannya, tahap-tahap yang harus kulewati, serta jadwal kapan saja obat-obat yang banyak macamnya itu harus masuk ke tubuhku.

Dokter juga mengatakan bahwa kemungkinan besar aku bisa sembuh karena penyakitku masih dini. Selama tiga bulan sejak itu, aku dirawat inap di sana. Selama itu pula, aku tidak masuk sekolah.

Untung, sekolah memberikan kebijakan khusus padaku. Namun, sebelum memulai pengobatan selama tiga bulan, aku pulang selama satu hari untuk ikut ujian sekolah.

Guruku datang ke rumah dan aku mengerjakan soal ujian itu. Waktu itu, setelah sekolah tahu penyakitku, aku diberi pilihan, apakah ingin menjalankan ujian itu atau tinggal kelas. Aku memilih ujian, terserah bagaimana hasilnya.

Baca Juga : Leukemia Seperti yang Diderita Anak Denada Bisa Dipicu Oleh Makanan Ini

Setelah ujian, aku kembali berangkat ke RSCM untuk menjalani pengobatan. Untuk menegakkan diagnosa, aku harus menjalani Bone Morrow Puncher (BMP) alias bor sumsum tulang belakang untuk mengetahui berapa persen cell blast dari kanker yang kuderita.

Aku harus menjalani delapan kali tusukan di tulang belakang, hanya dengan bius lokal. Proses inilah yang membuatku ngeri menghadapi kanker. Rasanya sangat sakit.

Awalnya, seluruh keluargaku mendampingiku di kamar tindakan saat tusukan pertama. Lantaran tak tega melihatku kesakitan dan meronta, lama-kelamaan hanya tinggal kakek dan bapakku saja di dalam ruangan, memegangiku sekuat tenaga.

Saat itu, aku masih menyangkal penyakitku dan semua rasa takut akan kanker kurasakan. Namun, setelah dua minggu kujalani di rumah sakit, pelan-pelan aku mulai menerima kondisiku. Saat itu, teman-teman sekolahku datang menjenguk dengan masih mengenakan seragam.

Baca Juga : Putri Denada Terserang Leukemia: Begini Antisipasi Tepat untuk Menangkal Leukemia

Ketika mereka pulang, aku menangis sedih. Ingin rasanya ikut pulang dan bersekolah lagi. Di situlah muncul motivasiku untuk sembuh.

Aku mulai berpikir apa yang harus kulakukan. Agar tidak bosan menjalani pengobatan selama di RS, setiap pagi aku menunggu-nunggu waktunya minum susu, agak siang aku menunggu snack, siang menunggu menu makan siang datang, dan seterusnya.

Membuat kalender pengobatan

Agar tidak terlalu memikirkan penyakitku, iseng-iseng aku juga membuat kalender sendiri. Setiap tanggal yang telah kulewati di RS kucoret. Jadi, aku bisa tahu tinggal berapa lama lagi waktuku di sana.

Secara psikologis, ini cukup membantuku melewati waktu dan pengobatan. Sebetulnya, jadwalku dirawat inap di sana hanya dua bulan, tapi molor karena aku tidak selalu dalam kondisi fit. Sehingga, kemoterapi terpaksa ditunda.

Baca Juga : Hati-hati! Demam Adalah 1 dari 6 Gejala Awal Leukemia Seperti yang Diderita Anak Denada

Kemoterapi yang kujalani tak terhitung jumlahnya, karena pengobatan utama dari leukemia adalah kemoterapi.

Asal tahu saja, leukemia menghabiskan enam protokol pengobatan, kalau tidak salah masing-masing berlangsung selama enam bulan. Mengetahui jadwal pengobatan secara detail menurutku penting, karena prosesnya berjalan lama.

Mempelajari jadwal pengobatan inilah yang juga menaikkan motivasiku untuk sembuh.

Selama tiga bulan di rumah sakit, bosan juga melandaku. Kalau sekarang ada ponsel pintar yang bisa jadi teman untuk membunuh waktu, saat aku sakit dulu, televisi di ruangan pun tidak ada. Akhirnya aku minta dibelikan walkman.

Baca Juga : Bukannya Malu, Wanita Ini Malah Selamatkan Bocah Penderita Leukemia Gara-gara Salah Kirim Foto

Aku sendiri lebih memilih merasa sakit akibat kemoterapi dibanding harus merasakan sakit yang nano-nano rasanya, tapi tidak berujung karena kanker.

Efek kemoterapi paling-paling merasa mual, pusing, sariawan, dan lainnya yang bisa dilawan dengan minum jus, makan yang banyak dan bergizi.

Namun, kalau sendi-sendi sakit, sulit berjalan, limpa dan hati bengkak, buatku sudah tak karuan rasanya. Baru saja merasa enak karena efek kemoterapi, sudah harus menjalani kemoterapi lagi.

Di sisi lain, “hadiah” dari ibuku juga menjadi pembangkit mood bagiku. Kalau aku sudah menyelesaikan kemoterapi, biasanya ibu memperbolehkanku membeli makanan dari luar menu rumah sakit.

Baca Juga : Mengharukan, Bocah Penderita Leukemia Stadium Akhir Ini Akhirnya Wujudkan Cita-citanya Jadi Petugas Pemadam Kebakaran Sebelum Kematiannya

Misalnya, bakso malang atau siomay di kantin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang berada di areal yang sama dengan RSCM, pempek, bakmi, dan lainnya.

Beruntung, selama tiga bulan penuh ibu selalu mendampingiku. Beliau mendapatkan dispensasi dari sekolahnya untuk mendampingiku sampai aku diperbolehkan pulang dari rumah sakit.

Lebih sulit setelah pulang

Jika hemoglobin dalam darahku kurang, aku harus menjalani transfusi darah yang rasanya tidak nyaman, merusak mood, dan membuatku harus menginap di rumah sakit barang 1-2 hari.

Jauh dari keluarga inilah yang terasa sangat berat bagiku. Untuk menghindari transfusi, aku perbanyak makanan atau minuman yang disarankan.

Baca Juga : Bocah Penderita Leukemia Ini Tulis Surat untuk Ayahnya, Isinya Sangat Menyentuh, Dijamin Bikin Nangis

Minum jus bit, susu kuda liar, telur setengah matang, atau makanan lainnya yang sebetulnya tidak kusukai kulakukan dengan ikhlas untuk mempercepat kesembuhan.

Alhamdulillah, setelah tiga bulan, aku diperbolehkan pulang dan menjalani rawat jalan. Namun, bukan berarti kesulitan berkurang. Justru lebih banyak setelah tak dirawat inap.

Aku harus menjalani radioterapi setiap hari kerja selama 10 kali. Namun, alat radioterapinya sering rusak. Baru dua kali terapi, alatnya rusak seminggu. Akhirnya, radioterapi baru selesai sebulan lebih.

Pulang-pergi ke rumah sakit, meski saat itu kami menumpang di rumah saudara di Kelapa Gading, Jakarta Utara, tetap saja melelahkan.

Baca Juga : Ibu Ini Bagikan Foto Pilu saat Memberi Ciuman Selamat Tinggal untuk Anaknya yang Meninggal karena Leukemia Akut, Tujuannya Amat Mulia

Aku dan ibuku pergi dan pulang menumpang bus umum, dengan kondisiku yang “teler” karena efek radioterapi hampir sama dengan kemoterapi.

Apalagi, tinggal di rumah orang lain, kan, tidak senyaman tinggal di rumah sendiri. Setelah selesai radioterapi, aku dan ibuku pulang ke Pandeglang.

Setelah kembali bersekolah, aku juga mendapat dispensasi dari sekolah untuk tidak ikut pelajaran olahraga, karena aku tidak boleh capek. Memang aku mengganti seragamku dengan baju olahraga, tapi aku tidak ikut kegiatan fisiknya.

Kontrol dan pengobatan terus berjalan. Kalau tiba waktunya kontrol, kami harus rela berangkat pukul 05.00 dari Pandeglang, terjebak macet di Jakarta dan kepanasan di dalam bus agar bisa sampai di RSCM pukul 08.00.

Baca Juga : Mengharukan! Demi Pengobatan Anaknya yang Menderita Leukemia, Ayah Ini Rela Jadi Badut Jalanan

Bergabung dengan YOAI

Tak hanya perjalanan pulang-pergi, proses, maupun efek pengobatannya juga berat. Namun, meski bosan dan capek, semua jadwal pengobatan kuikuti dengan tekun.

Makin lama, makin jarang frekuensi obat yang masuk, sehingga tubuhku lebih kuat.

Setelah 2,5 tahun, pengobatanku berakhir ketika aku kelas 3 SMP. Sejak SMA kelas 1, aku tak pernah lagi datang ke rumah sakit karena sudah dinyatakan bersih dari kanker.

Namun, tahun 2005 ketika aku kuliah jurusan Administrasi Negara tingkat akhir di Pandeglang, sebuah segmen dalam tayangan talkshow di teve yang menampilkan survivor kanker anak dan orangtuanya membuatku tergugah.

Baca Juga : Shi Luyao, Bocah 11 Tahun yang Sendirian Menempuh Jarak 400 Kilometer untuk Terapi Leukemia Akut

Dalam acara itu, anak itu tidak bisa menjawab ketika ditanya apa yang ia rasakan ketika menderita kanker semasa balita dulu.

Tentu saja ia tidak bisa bercerita karena belum bisa mengungkapkan perasaannya saat itu.

Emosi yang labil setelah kemoterapi dan radioterapi, mual, dan lainnya adalah reaksi yang wajar bagi penderita kanker. Bayi dan anak-anak kecil bisanya hanya rewel sebagai ungkapan perasaan. Namun, kadang orangtua tidak mengerti hal itu.

Sementara, ketika menderita kanker, usiaku sudah beranjak remaja, sehingga aku tahu apa yang kurasakan dan bisa mengungkapkannya.

Aku lalu mendatangi dr. Jayadiman yang dulu menangani penyakitku di RSCM. Beliau menyarankan untuk bergabung dengan Yayasan Onkologi Anak Indonesia (YOAI), sebuah yayasan yang berkecimpung di dunia kanker anak yang berkantor di area RS Kanker Dharmais, Jakarta Barat.

Baca Juga : Mengenal Cara Kerja Leukemia, Kanker yang Sebabkan Meninggalnya Putra Pertama Farhan

Setelah bergabung, aku sering terlibat dalam seminar kanker untuk memberikan testimoni sebagai survivor. Sejak itulah, aku sering pergi-pulang Pandeglang-Jakarta sendiri dengan menumpang bus, tidak lagi merepotkan ibuku.

Di YOAI pula, aku bertemu para survivor kanker anak lainnya, antara lain Priesnanda, Saprita Tahir, Andrew Manulang, dan Ario Falah.

Tahun 2006, di bawah naungan YOAI, kami berlima lalu mendirikan Cancer Buster Community (CBC) yang artinya komunitas pembasmi kanker. Disebut pembasmi kanker karena kami, para pendirinya berhasil membasmi kanker dari tubuh kami.

Mengunjungi Pasien

Komunitas ini beranggotakan para survivor kanker anak, yang notabene telah lima tahun dinyatakan bersih dari kanker sejak pengobatannya selesai.

Baca Juga : 11 Fakta tentang Leukemia dan Kanker Darah Lainnya yang Wajib Diketahui

Hingga kini, ada 75 anggota CBC dari seluruh Indonesia. Di komunitas ini, aku dan teman-teman, sendiri maupun bersama-sama, sering menjenguk pasien kanker anak ke rumah sakit atau rumah mereka.

Selain memberikan motivasi pada pasien, aku juga memberikan gambaran tentang kanker baik dari sisi tahapan pengobatan maupun pengalaman sebagai pasien kanker berdasarkan yang pernah kulalui.

Gambaran seperti itulah yang kemudian membuat banyak orangtua pasien yang kutemui jadi bisa memahami apa yang dialami anaknya, sekaligus tahu gambaran jadwal dan lamanya pengobatan.

Kalau melakukan trip ke luar kota, biasanya aku menyempatkan diri mengunjungi mereka di rumah sakit setempat, dengan seizin dokternya.

Baca Juga : Gadis Satu Tahun Ini Jadi Orang Pertama yang Sembuh dari Leukemia dengan Terapi Rekayasa Kekebalan

Aku dengan mudah mendapat izin karena mendapat rekomendasi dari dr. Edi S. Tehuteru, Sp.A(K), dokter anak di RS Kanker Dharmais (RSKD) Jakarta.

O iya, setelah aku lulus kuliah, tahu aku sedang mencari kerja, dr. Edi lalu mewawancaraiku untuk pekerjaan sebagai Sekrertaris Indonesian Journal of Cancer dan bagian Litbang di RSKD. Alhamdulillah, aku diterima.

Karena setiap minggu rapat bersama para dokter untuk membahas penelitian mereka tentang kanker, sedikit banyak aku tahu pengobatannya.

Namun, bila ada orangtua pasien yang bertanya padaku tentang obat kanker, pertanyaan itu kuteruskan ke dokter, lalu jawabannya keteruskan ke orangtua pasien.

Baca Juga : Chen Dejuan, Menjual Pelukan untuk Pengobatan Putrinya yang Menderita Leukemia

Ya, aku sering mendapat pertanyaan dari orangtua pasien atau sekadar sapaan dari pasien kanker anak. Aku senang meladeninya.

Aku sendiri sangat bersyukur berhasil sembuh dan satu per satu hal-hal yang dulu hanya ada dalam impianku, kini mulai menjadi kenyataan. Salah satunya, traveling.

Sekarang aku bisa melakukannya sesuka hati, bahkan sampai ke luar Jawa. Kini, tinggal satu lagi impian yang kutunggu datangnya, yaitu menikah dan melahirkan anak. Aku pasrah pada Allah kapan jodohku akan datang.

Sementara ini, kujalani saja dulu hidupku dengan senang hati. (Hasuna Daylailatu)

Baca Juga : Alergi Serbuk Sari Tingkatkan Risiko Leukemia

Artikel Terkait