Intisari-Online.com -Tahun 2013 menjadi tahun yang muram bagi Shi Luyao. Saat itu, bocah 11 tahun itu didiagnosis menderita leukemia limfotik akut. Dibutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk terapi, sayangnya, hanya sebagian biaya pengobatan ini yang ditanggung asuransi karena proses terapi harus dilakukan di provinsi Anhui tempat ayah Luyao bekerja, bukan di Guizhou tempat tinggalnya.
Selama dua tahun terakhir, demi pengobatan putranya itu, ayah Luyao terpaksa meminjam uang hingga 200 ribu yuan (Rp389 juta) untuk menyembuhkan Luyao. Pada Agustus lalu, setelah menjalani kemoterapi dan kondisinya membaik, Luyao pulang ke Guizhou, tetapi masalah tak berhenti di sana.
Setelah pulang, Luyao harus menjalani proses biopsi sumsum tulang belakang di sebuah rumah sakit di kota Kunming, 400 kilometer dari kediamannya. Dia harus melakuan perjalanan ini sendirian karena dia hanya tinggal bersama sang kakek yang renta sementara sang ibu meninggalkan keluarganya sejak Luyao berusia dua tahun.
Dari kediamannya, Luyao harus menggunakan bus hingga ke kota Liupanhui sebelum naik kereta api ke Kunming, ibu kota provinsi Yunnan. Kepada wartawan yang menemuinya, Luyao menceritakan bagiamana dia kerap harus menunggu kedatangan kereta api hingga enam jam.
Selama enam jam itu, dia harus berusaha menahan tangis karena dia tak ingin orang lain tahun bahwa dia berada di stasiun kereta api sendirian. Proses biopsi yang menyakitkan itu biasanya membuat dokter merekomendasikan agar seseorang beristirahat beberapa jam.
Namun, Luyao langsung memulai perjalanan pulang usai menjalani biopsi sehingga dia bisa mengejar waktu untuk kembali ke sekolah. Demikian dikabarkan harian China Daily.
Saat kembali ke kota Liupanshui, dia harus menanti hingga pagi sebelum naik ke bus pertama yang akan membawanya pulang. “Saya tak ingat lagi berapa banyak saya melihat matahari terbit di stasiun kereta api,” kata Luyao sambil berderai air mata.
Namun, bagi Luyao, perjalanan melelahkan itu seakan tak dirasakannya setelah dia bisa kembali pulang tepat waktu untuk bersekolah. Dia sangat rindu suasana sekolah apalagi selama menjalani kemoterapi, Luyao terpaksa tak bersekolah selama dua tahun.
Dengan semangat pantang menyerah, Luyao meminjam semua buku untuk membaca semua bahan pelajaran yang tak sempat diperolehnya selama dua tahun terakhir sekaligus mempelajari bahan pelajaran terbaru.
Begitu kondisinya membaik, Luyao meminta agar kakeknya membawanya kembali ke sekolah. Sejak saat itu, prestasi Luyao di sekolah sangat baik dan selalu mengerjakan pekerjaan rumahnya meski dia harus menjalani terapi.
Kegigihan Luyao ini mendapatkan simpati dari salah seorang gurunya di sekolah Peng Lu yang meminta secara khusus empat siswa untuk belajar dan menjaga Luyao. Para dokter mengatakan, Luyao harus menjalani terapi selama dua tahun lagi yang kemungkinan tak memerlukan transplantasi sumsum tulang belakang.(Kompas.com)