Advertorial
Intisari-Online.com - Jika identitas nasional Israel berasal dari kerinduan historis dan realisasi politik kontemporer, rasa rakyat Palestina berasal dari pemukiman penduduk asli.
Klaim Israel dan Palestina yang bertentangan atas satu daerah menyebabkan ketidakpercayaan dan pertumpahan darah di kedua sisi sepanjang abad ke-20 dan ke abad ke-21.
Sejarah Konflik
Sebagai buntut dari Perang Dunia I, kekuatan Eropa memberi Inggris hak untuk menentukan nasib Palestina.
Pada tahun 1937, Inggris merekomendasikan pembagian Palestina menjadi dua negara berdaulat, Arab dan Yahudi.
Orang-orang Arab menolak proposal ini, tidak mau menyerahkan apa yang mereka rasakan sebagai tanah Arab kepada kekuatan kolonial lainnya.
Setelah Holocaust, para pengungsi Yahudi dari Eropa dan negara-negara Arab mengalir ke Palestina, dan konflik-konflik Yahudi-Arab meningkat.
Konflik mendidih meledak sekali lagi dalam Perang Enam Hari 1967, ketika serangan balasan Israel mengambil alih seluruh Yerusalem dan merebut Gaza dan Tepi Barat.
Baca Juga : Lika-liku Tarian Rakyat Israel, dari Simbol Penyatuan hingga Pembebasan
Wilayah yang direbut pada tahun 1967 - di luar yang disebut "Garis Hijau" - tetap menjadi salah satu masalah paling kontroversial dalam konflik.
Setelah Perang Enam Hari, ada banyak perdebatan tentang apa yang harus dilakukan dengan wilayah-wilayah pendudukan ini.
Kekerasan yang Berlangsung, Upaya-Upaya Damai
Pada tahun 1987, dengan pecahnya Intifada Palestina (pemberontakan), tekanan pada pemerintah Israel untuk memecahkan masalah ini semakin meningkat.
Pada tahun 2003, Amerika Serikat melakukan upaya untuk membendung kekerasan dengan merancang "Road Map to Peace," yang mengusulkan solusi dua negara.
Tapi seperti banyak upaya perdamaian sebelumnya, Road Map goyah sejak dini dan kekerasan terus berlanjut.
Baca Juga : Yerusalem Punya siapa?Begini Sejarah Yerusalem sejak berdirinya Israel
Yasser Arafat, pemimpin rakyat Palestina melalui negosiasi dan kekerasan, meninggal pada 2004.
Sejak itu, Israel telah menerapkan penutupan di wilayah Palestina, dan mendirikan pagar keamanan yang memisahkan bagian-bagian Tepi Barat dari Israel.
Pada tahun 2005, Israel menetapkan arah baru dalam pendekatannya terhadap konflik Palestina-Israel: Pelepasan.
Dalam langkah berani dan kontroversial, Israel mengevakuasi permukimannya di Jalur Gaza, memindahkan pasukan militernya, dan meninggalkan daerah itu untuk diperintah oleh Otoritas Palestina.
Baca Juga : Cinta Abadi Kaum Yahudi untuk Israel: Rela Menjadi Minoritas Asal Tetap Tinggal di Tanah Israel
Ketika para militan di Gaza terus menembakkan roket ke komunitas Israel di perbatasan, beberapa warga Israel mempertanyakan apakah pelepasan itu layak dilakukan.
Yang lain menganjurkan pembekuan pemukiman di Tepi Barat, dan upaya berkelanjutan untuk memperdagangkan tanah demi perdamaian.
Dalam dekade terakhir, ada beberapa upaya untuk memulai kembali perundingan Israel-Palestina.
Namun kemajuan yang dicapai hanya sedikit.
Satu hal yang pasti: Konflik adalah ciri khas masyarakat Israel, dan tidak ada solusinya yang sederhana.
Baca Juga : Teater Yahudi: dari Tempat Ekspresi Pribadi hingga Drama Kontroversi