Kira-kira semmggu setelah timbul gagasan itu, ia memanggil Wakil Gubernur DIY KGPAA Paku Alam VIII ke Jakarta dan mereka bertemu di kantor Sri Sultan di Jl. Prapatan 42, Jakarta Pusat.
la menawarkan kepada kepala trah Pakualaman itu untuk bersama-sama mengundurkan diri dari kedua kedudukan masing-masing sebagai pemimpin pemerintahan daerah dan sebagai pemimpin Kesultanan dan Pakualaman.
Menjelang turun tahta, mereka akan menunjuk putra masing-masing sebagai calon pewaris tahta dan menobatkannya sebagai putra makota.
Bagaimana perasaan dan reaksi Sri Paku Alam atas tawaran Sri Sultan ini, tidaklah sulit dibayangkan. Mereka merupakan dwitunggal Provinsi Yogyakarta yang tak terpisahkan.
Keduanya terikat erat bukan hanya oleh kesamaan gagasan dan pengalaman sejarah, tetapi juga oleh ikatan darah.
Paku Alam I adalah putra Hamengku Buwono I dan adik Hamengku Buwono II tetapi berlainan ibu. Karena hubungan keluarga yang dekat ini, Sri Sultan biasa memanggilnya "paman".
Saya teringat pada tulisannya yang lembut dan tulus dalam Tahta Untuk Rakyat. "Saya pribadi pernah mendapat pesan dari orang tua saya bahwa siapa pun yang menjadi pemimpin saya, saya lahir-batin harus taat dan sekali-kali tidak diperbolehkan mengadakan penilaian terhadap pemimpin saya itu.
Sri Sultan adalah pemimpin saya, dan saya dengan lahir batin patuh, tunduk serta taat kepadanya."
Sri Sultan mengajak Sri Paku Alam untuk mengajukan permintaan pengunduran diri sebagai kepala dan wakil kepala daerah kepada Presiden Soeharto bulan Desember 1988.
Kemudian mereka akan mengadakan persiapan untuk mengangkat putra makota masing-masing, sebelum bersama-sama melepaskan tahta Kesultanan dan Pakualaman.
Pertemuan berikutnya diadakan dengan ketiga anak laki-laki dari istrinya yang kedua - KGPH Mangkubumi, GBPH Hadiwinoto dan GBPH Joyokusumo. Dalam pertemuan ini, yang diadakan di rumah Sri Sultan di Jl. Halimun 23, Jakarta Selatan, juga disinggung masalah pewarisan tahta.
Disusul dengan pertemuan di tempat yang sama bersama GBPH Hadikusumo, anak laki-laki tertua dari istri pertama, sekitar sepuluh hari sebelum Sri Sultan ber angkat ke Jepang dan Amerika Serikat pada tanggal 14 September.
Sri Sultan kemudian meminta para kerabatnya di Yogyakarta agar mendandani sebuah rumah di Mangkubumen, di luar keraton, untuk tempat tinggal sementara putra makota sebelum memasuki keraton sebagai sultan baru.
Menjelang penobatan putra makota sebagai Sultan Hamengku Buwono X, ia akan meninggalkan keraton.
Ia hendak mengikuti jejak kakeknya, Sultan Hamengku Buwono VII, yang turun tahta pada 29 Januari 1921 dan pindah ke Ambarukmo keesokan harinya — sepuluh hari sebelum penobatan penggantinya. Ia mangkat sebelas bulan kemudian, pada 30 Desember tahun itu.
Nama baru dan naik haji
Sri Sultan telah pula memilih nama baru yang akan digunakannya sesudah melepaskan tahta. Ia akan menyebut dirinya Ki Ageng Sepuh.
Keinginannya yang lain ialah berziarah ke Ka'bah di Mekah untuk menunaikan rukun Islam kelima. Seandainya ini terjadi, ia akan menjadi Sultan Yogyakarta pertama - yang masih bertahta ataupun setelah turun tahta - yang menjalankan ibadah haji.
Selama ini tak seorang pun di antara para sultan Yogyakarta sempat pergi naik haji, walaupun mereka menyandang gelar Sayidin Panotogomo Khaltfatullah.
Ini adalah gelar keagamaan dalam lembaga pemerintahan Islam, yang artinya "Yang Dipertuan Pembina (Penata) Agama Utusan Allah".
Masih banyak keinginan dan rencana Sri Sultan yang hendak dilaksanakannya sepulang dari mengantar rombongan kesenian Yogyakarta - Surakarta ke Jepang dan pemeriksaan kesehatan di Amerika Serikat.
Tetapi, sebelum semuanya terwujud, Tuhan telah lebih dulu memanggilnya pulang ke rahmatullah.
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Januari 1989)
(Baca juga: Lika-liku Kehidupan Anak Kembar Siam Paling Tragis Dalam Sejarah, Salah Satunya Diperalat Sebagai Mesin Pencari Uang)
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR