Peristiwa seperti itu pernah terjadi pada masa pendudukan Belanda sesudah proklamasi kemerdekaan. Seorang saudaranya ditangkap Belanda dan dibawa ke Semarang, karena ia telah mengadakan rapat di rumahnya dengan laskar yang dipimpinnya.
Di Semarang, ia mendapat tekanan agar mau bekerja sama dengan Belanda. Ia malahan ditawari kedudukan sebagai sultan karena saat itu Belanda sudah mengetahui bahwa Sultan Hamengku Buwono IX tidak dapat dibujuk untuk bekerja sama dengan mereka.
Semboyan tentara Belanda semula bahwa "pembebasan" Yogyakarta berarti "membebaskan Sri Sultan dari pihak republik" ternyata hanyalah suatu khayalan.
Melepaskan tahta dan jabatan gubernur
Ada satu bagian yang menarik dalam wawancara ini, yang membuat saya sekarang tercenung teringat lagi pada saat-saat tujuh tahun yang lalu itu. Tetapi waktu itu saya sama sekali tidak menyadari makna sebenarnya.
Saya mengira Sri Sultan hanya sekadar ingin menyampaikan human interest story sebagai ilustrasi sejarah tentang bagaimana suksesi dapat terjadi di Keraton Yogyakarta.
Ia tengah bercerita mengenai langkah-langkahnya menyiapkan calon putra makota, ketika tiba-tiba beralih kepada peristiwa penyerahan tahta dari Hamengku Buwono VII kepada putranya, Hamengku Buwono VIII.
Hamengku Buwono VIII dinobatkan sebagai sultan pada 8 Februari 1921, ketika Hamengku Buwono VII masih hidup. Sultan lama, setelah turun tahta, meninggalkan keraton dan menetap di Ambarukmo.
Sebabnya, kata Sri Sultan, "Tidak enak kalau tetap tinggal di keraton, karena yang telah melepaskan tahtanya akan tetap disebut "sultan", bukan "mantan sultan" atau "mantan raja".
Barulah sekarang saya memahami, apa arti isyarat yang barangkali hendak disampaikannya ketika mengingatkan peristiwa suksesi awal tahun 1921 itu. Mungkin ini merupakan "ungkapan pendahuluan" dari hasratnya yang masih terpendam di lubuk hati, sebelum akhirnya dapat dengan jelas dikemukakan tujuh tahun sesudah wawancara itu.
Kini saya mendengar bahwa tiga bulan sebelum ia mangkat, Sri Sultan mengungkapkan keinginannya untuk mengundurkan. diri dari kedudukan sebagai gubemur Daerah Istimewa Yogyakarta dan juga sebagai sultan.
Rencananya ltu dikemukakan sekitar akhir Juni atau awal Juli 1988 beberapa minggu sebelum pengangkatan empat putranya sebagai pangeran pada 23 Juli.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR