Advertorial
Intisari-Online.com - Ketika pada bulan Januari 1946 Ibukota RI berpindah ke Yogyakarta, maka sebagai Raja Yogyakarta, Sultan HB IX harus bertanggung jawab penuh terhadap keselamatan Presiden Soekarno dan semua stafnya.
Tidak hanya menjamin keamanan semua “rombongan Soekarno” Sultan HB IX bahkan mengeluarkan dana Keraton yang cukup besar untuk menjamin roda pemerintahan RI selama sekitar 4 bulan.
Sebagai penguasa Yogyakarta yang sedang dijadikan Ibukota Negara, Sultan HB IX juga merupakan panglima perang laskar-laskar perjuangan rakyat yang kemudian dibentuk.
Sebagai panglima perang, Sultan HB IX memiliki kepala staf yang sekaligus berperan sebagai orang intelijen, yakni Selo Soemardjan (kelak guru besar Sosiologi Fisip UI).
Untuk menggembleng laskar-laskar rakyat itu Sultan HB IX bersama pasukan RI (Tentara Keamanan Rakyat/TKR) di bawah pimpinan Panglima Besar Soedirman secara rutin menggelar latihan perang.
Suatu kali laskar-laskar pejuang rakyat bersama pasukan TKR berencana menggelar latihan umum yang rencananya akan berlangsung pada 19 Desember 1948.
Tapi pada hari itu pasukan Belanda ternyata melancarkan Agresi Militer II dan berakibat pada jatuhnya kota Yogyakarta (kecuali keraton) dan ditawannya Presiden Soekarno serta Wapres Moh Hatta.
Panglima Besar Soedirman dan pasukannya memilih berjuang di luar kota untuk melancarkan peperangan secara gerilya.
Tapi bagi Sultan HB IX peperangan secara gerilya meskipun membuat pasukan Belanda tidak berani keluar markas setiap malam tiba dan terpaksa memberlakukan jam malam belum bisa menarik perhatian internasional (PBB).
Oleh karena itu Sultan HB IX kemudian mencetuskan ide untuk menggelar serangan militer secara terkoordinasi dan melibatkan semua unsur kekuatan terhadap pasukan Belanda yang ada di kota Yogyakarta.
Sebagai panglima perang sekaligus raja, Sultan HB IX jelas memiliki pengalaman perang yang memadai.
Apalagi dia juga terlibat aktif dalam perjuangan revolusi 1945 dan pernah menjabat sebagai Menteri Koordinator Keamanan.
Maka ide Sultan HB IX untuk melancarkan Serangan Umum 1 Maret 1949 pun langsung ditanggapi positif oleh Panglima Besar Soedirman dan kemudian dilaksanakan.
Serangan Umum 1 Maret akhirnya sukses dilaksanakan dan membuat militer Belanda makin kelabakan.
Pasalnya serangan spektakuler itu berhasil menarik perhatian internasional.
Atas campur tangan PBB, yang akhirnya memutuskan bahwa Agresi Militer II Belanda merupakan tindakan keliru karena dilakukan di negara yang sudah berdaulat.
Belanda kemudian disuruh PBB menarik mundur pasukannya dari Indonesia.
Langkah Sultan HB IX melalui ide Serangan Umum 1 Maret menunjukkan bahwa selain langkah diplomatik, tindakan berupa peperangan ternyata masih diperlukan untuk mempertahankan kemerdekaan RI.