Advertorial

‘Gagalnya’ Sri Sultan Hamengku Buwono IX Jadi Sultan Yogyakarta Pertama yang Pergi Naik Haji

Ade Sulaeman

Editor

Selama ini tak seorang pun di antara para sultan Yogyakarta sempat pergi naik haji, walaupun mereka menyandang gelar Sayidin Panotogomo Khaltfatullah.
Selama ini tak seorang pun di antara para sultan Yogyakarta sempat pergi naik haji, walaupun mereka menyandang gelar Sayidin Panotogomo Khaltfatullah.

Intisari-Online.com – Banyak niat yang ingin dilakukan Sri Sultan setelah kembali dari Amerika. Namun, Tuhan menghendaki lain.

Atmakusumah, penyunting buku Tahta Untuk Rakyat, yang diterbitkan bertepatan dengan hari ulang tahun Sultan ke-70, tahun 1982, menceritakan pengalamannya.

Ketika mendapat kesempatan ikut serta mewawancarai Sri Sultan tanggal 8 Oktober 1981, kesan bahwa ia tidak berhasrat melanjutkan kesultanannya mendorong saya bertanya kepadanya, "Apakah Kesultanan Yogyakarta pada masa depan akan diteruskan?"

Jawabannya ternyata bertentangan dengan dugaan di masyarakat yang beredar waktu itu.

(Baca juga: Terkenal Sebagai Pasukan Khusus Kelas Dunia, Navy SEAL Ternyata Babak Belur Oleh Viet Cong)

Dalam wawancara itu Sri Sultan mengisyaratkan keinginan agar ada kesinambungan bagi kesultanannya. Bahkan ia sudah menyiapkan calon penggantinya untuk menjadi Hamengku Buwono X.

Ia adalah Bendoro Raden Mas (BRM) Herjuno Darpito, anak kelima tetapi anak laki-laki tertua dari ke-22 putra-putri Sri Sultan.

Dilahirkan 2 Mei 1946 di Yogyakarta, ia adalah anak kedua dari istri kedua Sri Sultan, almarhumah KRAy Windyaningrum. Sejak masa remaja, katanya, ketika menggambarkan kepribadian BRM Herjuno Darpito, "Pikirannya sudah ketua-tuaan (bersikap dewasa atau seperti orang tua)."

Sri Sultan kemudian memberinya gelar Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Mangkubumi pada tahun 1974.

"Putra makota belum ada. Tetapi dengan pengangkatannya sebagai Pangeran Mangkubumi, tanda tanda ke arah sana (penobatan putra makota) sudah ada," katanya dalam wawancara itu.

Dijelaskannya bahwa masalah pewaris tahta merupakan "kebijaksanaan saya". Walaupun demikian, ia juga mengatakan bahwa "Selama dia menjadi Mangkubumi saya akan melihat apakah dia bisa diterima atau tidak oleh keluarga. Jadi, ini merupakan penjajakan."

Ketika ditanya berapa lama 'masa pengujian' itu berlangsung, Sri Sultan hanya memberikan jawaban dengan satu perkataan: "Tergantung." Ini berarti, tidak ada penetapan jangka waktu bagi persiapan pengangkatannya sebagai putra makota.

Sikapnya yang realistis tercermin pada pendiriannya yang menganggap penting untuk mempertimbangkan pandangan para kerabat keraton sebelum ia mengangkat putra makota.

(Baca juga: Karena Tidak Ada Salju di Atap, Rumah Ini Disergap Polisi dan Mereka Menemukan Sesuatu yang Mengejutkan)

Sebab, bagaimanapun, ia adalah calon 'kepala keluarga’ mereka untuk masa depan.

Meniru contoh 49 tahun yang lalu

Sri Sultan juga telah memberikan contoh 49 tahun yang lampau, pada hari-hari setelah ayahnya mangkat.

Waktu itu ia sudah mendapat isyarat sebagai pewaris tahta, karena ayahnya beberapa hari sebelum mangkat telah menyerahkan kepadanya Kanjeng Kyai Joko Piturun, keris pusaka lambang suksesi di Keraton Yogyakarta.

Ayahnya, ketika berkunjung ke Bogor, juga telah meminta kepada Gubernur Jenderal Jhr. Alidius W.L. Tjarda van Starkenborgh Stachouwer agar putranya, Gusti Raden Mas (GRM) Dorojatun, dapat diangkat sebagai putra makota.

Selain didukung oleh tindakan-tindakan ayahnya, kedudukan GRM Dorojatun sebagai pewaris tahta diperkuat oleh kenyataan bahwa ia adalah putra seorang garwo padmi. Walaupun demikian, ia masih merasa perlu berembuk dengan saudara-saudara dan paman-pamannya dan bertanya kepada mereka apakah ada yang berhasrat menjadi sultan.

Ternyata para kerabat keraton dengan kompak mendukungnya sebagai 'kepala keluarga' mereka. Barulah sesudah itu ia melangkah maju ke meja perundingan dengan Gubernur Yogyakarta Lucien Adam untuk membuat perjanjian antara kesultanannya dengan pemerintah Hindia Belanda sebagai syarat bagi pengangkatannya menjadi sultan.

Cair pendekatan yang serupa kini terjadi pula di kalangan kerabat keraton dalam menyongsong 'kedatangan' sultan yang baru.

Wawancara 12 jam

Wawancara pada 8 Oktober 1981 berlangsung paling lama di antara beberapa kali pertemuan antara Sri Sultan dengan tim penyusun buku Tahta Untuk Rakyat - Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwnno IX.

Buku ini disiapkan untuk menyongsong hari ulang tahun ke-70 Sri Sultan pada 12 April 1982, hanya enam bulan setelah wawancara panjang ltu.

Sebagai sumber utama bahan penulisan biografi ini, ia dengan sabar membantu kami mengenali foto-foto lama, terutama yang berasal dari keraton dan yang bersangkutan dengan kegiatannya pada masa perang kemerdekaan.

Kepada kami ia meminjamkan sekopor album berisi tidak kurang dan sepuluh album foto. Kepadanya kami serahkan seluruh naskah untuk diperiksa sebelum dikirimkan ke penerbit

Sri Sultan mengajukan satu permmtaan yang agak mengejutkan, tetapi sebenarnya tidak mengherankan jika mengingat wataknya. Ia menyarankan perombakan atau pemotongan salah satu tulisan dari seorang penyumbang, karena ia menganggapnya mengandung pujian yang berlebihan.

Tim penyusun Tahta Untuk Rakyat diketuai almarhum Mohammad Roem, mantan menteri dan penandatangan 'Pernyataan Roem - van Royen'. Anggota tim lainnya adalah Mochtar Lubis, Sutan (Bob) Maimoen, Kustiniyati Mochtar dan saya.

Wawancara paling lama, yang diadakan di rumah peristirahatan 'Widaranti' di Cisarua, Puncak, berlangsung selama dua belas jam - mulai pukul 10.00 - 22.00. Suasana perbincangan itu agak santai dan informal dan sekali-sekali diselingi gelak tawa, karena Sri Sultan telah lama mengenal para pewawancara.

Sebagian bahkan sudah dikenalnya sejak masa perang kemerdekaan, saat-saat ketika mereka biasa saling menegur dengan panggilan "Bung". Saya adalah satu-satunya muka baru bagi Sri Sultan.

Betapapun santainya pertemuan itu, tak urung beberapa peserta tidak dapat menahan kelelahan. Terpaksa sebagian pewawancara meminta izin kepada tuan dan nyonya rumah, Pak Sultan dan Ibu Norma (KRAy Nindyokirono), untuk tidur siang.

Namun, Sri Sultan tak bergeming dari kursinya. Bersama para pewawancara yang mampu terus bertahan tanpa istirahat, ia hampir tak pernah meninggalkan ruang tengah tempat berwawancara, kecuali untuk makan siang dan makan malam.

Hanya sekali-sekali saja ia melempangkan badan dan jalan-jalan sebentar di beranda dan di halaman berkebun yang ditata rapi.

Hari sudah agak larut, jam menunjukkan pukul 22.00 ketika beberapa di antara kami merasa sudah waktunya pulang ke Jakarta, karena harus masuk kantor keesokan harinya. Tetapi Sri Sultan, yang tidak kelihatan lelah atau menguap, masih mengajak melanjutkan pembicaraan.

Pak Roem, yang selalu didampingi istrinya ke mana pun ia pergi dan Kustiniyati Mochtar tidak ikut pulang ke Jakarta. Mereka masih meneruskan wawancara keesokan paginya.

"Mungkin saya dibuang"

Seperti pada pertemuan-pertemuan lainnya, wawancara sepanjang hari itu digunakan pula untuk mengecek hal-hal yang meragukan dan memerlukan penjelasan dari tangan pertama.

Bagaimana, umpamanya, menuliskan namanya, karena ejaan yang tercantum dalam buku-buku dan penerbitan pers berbeda-beda.

Bukan Hamengkubuwono, apalagi Hamangkubuwono dan bukan pula Hamangkubuwana atau Hamengkubuwana, katanya. Melainkan Hamengku Buwono dituliskan dengan dua kata - atau dulu, semasa ejaan lama, Hamengkoe Boewono.

Kami juga mengajukan pertanyaan hipotetis: Apa yang akan terjadi seandainya ia tidak bersedia menandatangani kontrak politik dengan Belanda sebelum dinobatkan sebagai sultan?

Pertanyaan ini diajukan karena ada bagian penting dalam "Surat perjanjian antara pemerintah Hindia Belanda dan Kesultanan Yogyakarta" itu yang tidak sesuai dengan keinginannya.

Misalnya, masalah pepatih dalem (patih, serupa perdana menteri) yang mendapat gaji dari pemerintah Hindia Belanda dan kesultanan dan bertanggung jawab kepada kedua pihak.

Ia adalah pegawai pemerintah Belanda dan kesultanan pada saat yang bersamaan. Ini berarti, sebelah kakinya berada di kesultanan, tetapi kaki lainnya berada di pihak Belanda.

Ia sadar bahwa dalam kedudukan demikian sang patih dapat menjadi alat Belanda yang bisa diadu domba dengan sultan. Sejarah menunjukkan bahwa konflik seperti itu tidak jarang terjadi pada masa silam.

Tetapi dalam perundingan dengan Gubernur Lucien Adam, Sri Sultan gagal memenangkan tuntutannya agar pepatih dalem sepenuhnya menjadi pejabat kesultanan.

Seandainya ia membiarkan perundingan itu berakhir dengan jalan buntu karena tidak semua tuntutannya dipenuhi, "Saya mungkin dibuang," kata nya singkat. Jika itu terjadi, menurut perkiraannya, tahta Kesultanan Yogyakarta mungkin akan ditawarkan oleh Belanda kepada salah seorang saudaranya atau sepupunya.

Peristiwa seperti itu pernah terjadi pada masa pendudukan Belanda sesudah proklamasi kemerdekaan. Seorang saudaranya ditangkap Belanda dan dibawa ke Semarang, karena ia telah mengadakan rapat di rumahnya dengan laskar yang dipimpinnya.

Di Semarang, ia mendapat tekanan agar mau bekerja sama dengan Belanda. Ia malahan ditawari kedudukan sebagai sultan karena saat itu Belanda sudah mengetahui bahwa Sultan Hamengku Buwono IX tidak dapat dibujuk untuk bekerja sama dengan mereka.

Semboyan tentara Belanda semula bahwa "pembebasan" Yogyakarta berarti "membebaskan Sri Sultan dari pihak republik" ternyata hanyalah suatu khayalan.

Melepaskan tahta dan jabatan gubernur

Ada satu bagian yang menarik dalam wawancara ini, yang membuat saya sekarang tercenung teringat lagi pada saat-saat tujuh tahun yang lalu itu. Tetapi waktu itu saya sama sekali tidak menyadari makna sebenarnya.

Saya mengira Sri Sultan hanya sekadar ingin menyampaikan human interest story sebagai ilustrasi sejarah tentang bagaimana suksesi dapat terjadi di Keraton Yogyakarta.

Ia tengah bercerita mengenai langkah-langkahnya menyiapkan calon putra makota, ketika tiba-tiba beralih kepada peristiwa penyerahan tahta dari Hamengku Buwono VII kepada putranya, Hamengku Buwono VIII.

Hamengku Buwono VIII dinobatkan sebagai sultan pada 8 Februari 1921, ketika Hamengku Buwono VII masih hidup. Sultan lama, setelah turun tahta, meninggalkan keraton dan menetap di Ambarukmo.

Sebabnya, kata Sri Sultan, "Tidak enak kalau tetap tinggal di keraton, karena yang telah melepaskan tahtanya akan tetap disebut "sultan", bukan "mantan sultan" atau "mantan raja".

Barulah sekarang saya memahami, apa arti isyarat yang barangkali hendak disampaikannya ketika mengingatkan peristiwa suksesi awal tahun 1921 itu. Mungkin ini merupakan "ungkapan pendahuluan" dari hasratnya yang masih terpendam di lubuk hati, sebelum akhirnya dapat dengan jelas dikemukakan tujuh tahun sesudah wawancara itu.

Kini saya mendengar bahwa tiga bulan sebelum ia mangkat, Sri Sultan mengungkapkan keinginannya untuk mengundurkan. diri dari kedudukan sebagai gubemur Daerah Istimewa Yogyakarta dan juga sebagai sultan.

Rencananya ltu dikemukakan sekitar akhir Juni atau awal Juli 1988 beberapa minggu sebelum pengangkatan empat putranya sebagai pangeran pada 23 Juli.

Kira-kira semmggu setelah timbul gagasan itu, ia memanggil Wakil Gubernur DIY KGPAA Paku Alam VIII ke Jakarta dan mereka bertemu di kantor Sri Sultan di Jl. Prapatan 42, Jakarta Pusat.

la menawarkan kepada kepala trah Pakualaman itu untuk bersama-sama mengundurkan diri dari kedua kedudukan masing-masing sebagai pemimpin pemerintahan daerah dan sebagai pemimpin Kesultanan dan Pakualaman.

Menjelang turun tahta, mereka akan menunjuk putra masing-masing sebagai calon pewaris tahta dan menobatkannya sebagai putra makota.

Bagaimana perasaan dan reaksi Sri Paku Alam atas tawaran Sri Sultan ini, tidaklah sulit dibayangkan. Mereka merupakan dwitunggal Provinsi Yogyakarta yang tak terpisahkan.

Keduanya terikat erat bukan hanya oleh kesamaan gagasan dan pengalaman sejarah, tetapi juga oleh ikatan darah.

Paku Alam I adalah putra Hamengku Buwono I dan adik Hamengku Buwono II tetapi berlainan ibu. Karena hubungan keluarga yang dekat ini, Sri Sultan biasa memanggilnya "paman".

Saya teringat pada tulisannya yang lembut dan tulus dalam Tahta Untuk Rakyat. "Saya pribadi pernah mendapat pesan dari orang tua saya bahwa siapa pun yang menjadi pemimpin saya, saya lahir-batin harus taat dan sekali-kali tidak diperbolehkan mengadakan penilaian terhadap pemimpin saya itu.

Sri Sultan adalah pemimpin saya, dan saya dengan lahir batin patuh, tunduk serta taat kepadanya."

Sri Sultan mengajak Sri Paku Alam untuk mengajukan permintaan pengunduran diri sebagai kepala dan wakil kepala daerah kepada Presiden Soeharto bulan Desember 1988.

Kemudian mereka akan mengadakan persiapan untuk mengangkat putra makota masing-masing, sebelum bersama-sama melepaskan tahta Kesultanan dan Pakualaman.

Pertemuan berikutnya diadakan dengan ketiga anak laki-laki dari istrinya yang kedua - KGPH Mangkubumi, GBPH Hadiwinoto dan GBPH Joyokusumo. Dalam pertemuan ini, yang diadakan di rumah Sri Sultan di Jl. Halimun 23, Jakarta Selatan, juga disinggung masalah pewarisan tahta.

Disusul dengan pertemuan di tempat yang sama bersama GBPH Hadikusumo, anak laki-laki tertua dari istri pertama, sekitar sepuluh hari sebelum Sri Sultan ber angkat ke Jepang dan Amerika Serikat pada tanggal 14 September.

Sri Sultan kemudian meminta para kerabatnya di Yogyakarta agar mendandani sebuah rumah di Mangkubumen, di luar keraton, untuk tempat tinggal sementara putra makota sebelum memasuki keraton sebagai sultan baru.

Menjelang penobatan putra makota sebagai Sultan Hamengku Buwono X, ia akan meninggalkan keraton.

Ia hendak mengikuti jejak kakeknya, Sultan Hamengku Buwono VII, yang turun tahta pada 29 Januari 1921 dan pindah ke Ambarukmo keesokan harinya — sepuluh hari sebelum penobatan penggantinya. Ia mangkat sebelas bulan kemudian, pada 30 Desember tahun itu.

Nama baru dan naik haji

Sri Sultan telah pula memilih nama baru yang akan digunakannya sesudah melepaskan tahta. Ia akan menyebut dirinya Ki Ageng Sepuh.

Keinginannya yang lain ialah berziarah ke Ka'bah di Mekah untuk menunaikan rukun Islam kelima. Seandainya ini terjadi, ia akan menjadi Sultan Yogyakarta pertama - yang masih bertahta ataupun setelah turun tahta - yang menjalankan ibadah haji.

Selama ini tak seorang pun di antara para sultan Yogyakarta sempat pergi naik haji, walaupun mereka menyandang gelar Sayidin Panotogomo Khaltfatullah.

Ini adalah gelar keagamaan dalam lembaga pemerintahan Islam, yang artinya "Yang Dipertuan Pembina (Penata) Agama Utusan Allah".

Masih banyak keinginan dan rencana Sri Sultan yang hendak dilaksanakannya sepulang dari mengantar rombongan kesenian Yogyakarta - Surakarta ke Jepang dan pemeriksaan kesehatan di Amerika Serikat.

Tetapi, sebelum semuanya terwujud, Tuhan telah lebih dulu memanggilnya pulang ke rahmatullah.

(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Januari 1989)

(Baca juga: Lika-liku Kehidupan Anak Kembar Siam Paling Tragis Dalam Sejarah, Salah Satunya Diperalat Sebagai Mesin Pencari Uang)

Artikel Terkait