Wawancara pada 8 Oktober 1981 berlangsung paling lama di antara beberapa kali pertemuan antara Sri Sultan dengan tim penyusun buku Tahta Untuk Rakyat - Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwnno IX.
Buku ini disiapkan untuk menyongsong hari ulang tahun ke-70 Sri Sultan pada 12 April 1982, hanya enam bulan setelah wawancara panjang ltu.
Sebagai sumber utama bahan penulisan biografi ini, ia dengan sabar membantu kami mengenali foto-foto lama, terutama yang berasal dari keraton dan yang bersangkutan dengan kegiatannya pada masa perang kemerdekaan.
Kepada kami ia meminjamkan sekopor album berisi tidak kurang dan sepuluh album foto. Kepadanya kami serahkan seluruh naskah untuk diperiksa sebelum dikirimkan ke penerbit
Sri Sultan mengajukan satu permmtaan yang agak mengejutkan, tetapi sebenarnya tidak mengherankan jika mengingat wataknya. Ia menyarankan perombakan atau pemotongan salah satu tulisan dari seorang penyumbang, karena ia menganggapnya mengandung pujian yang berlebihan.
Tim penyusun Tahta Untuk Rakyat diketuai almarhum Mohammad Roem, mantan menteri dan penandatangan 'Pernyataan Roem - van Royen'. Anggota tim lainnya adalah Mochtar Lubis, Sutan (Bob) Maimoen, Kustiniyati Mochtar dan saya.
Wawancara paling lama, yang diadakan di rumah peristirahatan 'Widaranti' di Cisarua, Puncak, berlangsung selama dua belas jam - mulai pukul 10.00 - 22.00. Suasana perbincangan itu agak santai dan informal dan sekali-sekali diselingi gelak tawa, karena Sri Sultan telah lama mengenal para pewawancara.
Sebagian bahkan sudah dikenalnya sejak masa perang kemerdekaan, saat-saat ketika mereka biasa saling menegur dengan panggilan "Bung". Saya adalah satu-satunya muka baru bagi Sri Sultan.
Betapapun santainya pertemuan itu, tak urung beberapa peserta tidak dapat menahan kelelahan. Terpaksa sebagian pewawancara meminta izin kepada tuan dan nyonya rumah, Pak Sultan dan Ibu Norma (KRAy Nindyokirono), untuk tidur siang.
Namun, Sri Sultan tak bergeming dari kursinya. Bersama para pewawancara yang mampu terus bertahan tanpa istirahat, ia hampir tak pernah meninggalkan ruang tengah tempat berwawancara, kecuali untuk makan siang dan makan malam.
Hanya sekali-sekali saja ia melempangkan badan dan jalan-jalan sebentar di beranda dan di halaman berkebun yang ditata rapi.
Hari sudah agak larut, jam menunjukkan pukul 22.00 ketika beberapa di antara kami merasa sudah waktunya pulang ke Jakarta, karena harus masuk kantor keesokan harinya. Tetapi Sri Sultan, yang tidak kelihatan lelah atau menguap, masih mengajak melanjutkan pembicaraan.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR